Bagaimana dengan Koalisi Cikeas? Saya baca dan denger-denger ada kecenderungan secara bulat mereka akan memajukan anaknya Pak SBY yang adalah tentara aktif berpangkat Mayor, untuk maju menantang Ahok. Dialah Agus Haromurti Yudhoyono. Ia digadang-gadangkan untuk maju dari poros koalisi Cikeas. Apa ini tidak beresiko? Sangat beresiko. Memang dia adalah anak mantan Presiden, tetapi namanya belum begitu dikenal, sebagai contoh kecil saja, dari 10 orang teman kantor saya hanya 2 orang yang tahu dia.
Untuk mempromosikan Mayor Agus dibutuhkan dana dan tenaga besar-besaran, padahal waktu yang tersisa sudah sangat terbatas. Memajukan Agus juga bakalan beresiko bagi dirinya sendiri. Dengan posisi dia sebagai mayor dan tentara aktif, karirnya sebetulnya masih panjang dan suatu saat nanti bisa jadi petinggi di tubuh TNI, tetapi bila dia mengundurkan diri dini untuk bertanding pada sebuah pertandingan yang mungkin dia sendiri sadari jauh dari kemenangan, itu tentu resikonya besar. Harga yang harus dia bayar amat besar. Percaya diri perlu, tetapi bertarung pada sebuah pertarungan yang sangat tidak mungkin dimenangi itu adalah sebuah kekonyolan semata.
Jadi kalau begitu siapa kira-kira lawan sepandan Ahok? Untuk saat ini belum ada, tetapi kalau dua koalisi ini memilih orang yang tetap maka bisa jadi ada pasangan calon yang sedikitnya dapat mengimbangi Ahok – Djarot. Ya paling tidak ikut benar-benar meramaikan supaya pilkada nanti tidak membosankan.
Bagaimana dengan Yusril? Jauh panggang dari api. Tidak usah bermimpi terlalu tinggi kalau untuk yang satu itu. Bagi saya pribadi, yang mendekati adalah bila Anis Baswedan dimajukan. Pertama, dia itu diberhentikan dari posisi menteri dengan meninggalkan nama baik. Ia tidak korup dan bukan orang bodoh. Dia adalah cendekiawan yang tau betul apa itu politik, bahkan dia hebat dalam membuat strategi politik secara keilmuan. Dia belajar khusus tentang itu.
Anis juga tidak sementara terlibat kasus negatif, dan namanya tetap baik di mata banyak orang. Dia punya basis relawan, dan ada gerakan ‘turun tangan’ yang dibidaninya. Orang-orang yang terlibat dalam ‘Indonesia Mengajar’ juga kemungkinan besar akan mendukung Anies kalau namanya muncul. Maka tinggal mencari calon wakilnya saja, pasangan ini akan dapat meningkatkan elektabilitasnya sekian persen dalam waktu yang tersisa. Jadi bagi saya, untuk saat ini hanya Anies Baswedanlah yang setidaknya dapat mengekor tingkat elektabilitas Ahok.
Jalan lain lagi adalah jikalau mereka mampu ‘mencuri’ Risma untuk bersedia mereka calonkan atau Ridwan Kamil. Meskipun kader PDIP tetapi kalau berhasil mereka ‘bajak’, bukan tidak mungkin Risma atau Ridwan akhirnya maju untuk menantang Ahok. Seru kalau itu terjadi. Meskipun pada akhirnya, prediksi saya tetap pasangan Ahok – Djarotlah yang akan menang nantinya.
Bagaimana Bila Hanya Satu Pasangan Calon?
Bisa terjadi semua partai sisa yang tidak mendukung Ahok tidak akan memajukan pasangan calon mereka. Ini tindakan spekulatif, tetapi kalau mereka sudah merasa kalah sebelum berperang dan merasa tidak mungkin mengalahkan Ahok, maka untuk apa buang-buang duit mending pakai cara lain yang murah namun bisa jadi ada kemungkinan lain terjadi.
Mahkamah Konstitusi (MK) tahun lalu telah menerbitkan Peraturan MK No. 4 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Perselisihan Calon Tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ada tiga hal penting yang diatur yaitu siapa yang memiliki legalstanding mengajukan gugatan, keputusan KPUD terkait perbedaan selisih hasil penghitungan suara setuju dan tidak setuju, dan tenggang waktu pengajuan gugatan 3 kali 24 jam.
Jadi bila hanya satu pasangan calon maka yang memilih akan memilih “setuju” atau “tidak setuju”. Jika memakai cara ini, mereka masih bisa berharap bahwa jika prosentase yang tidak setuju terhadap pasangan calon Ahok – Djarot sekian persen, maka bisa digugat ke MK.
Peraturan MK ini juga membatasi selisih hasil penghitungan suaranya yang bisa digugat. Sengketa hasil pilkada calon tunggal ini ada syarat presentase tertentu yang dibatasi secara limitatif. Misalnya, kalau sudah 70 persen yang setuju dengan pasangan calon tunggal atau kalau yang tidak setuju dengan calon tunggal hanya 10 persen suara, maka tidak bisa digugat ke MK.