Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Pemenggalan Kepala Sophie

11 September 2015   15:01 Diperbarui: 11 September 2015   20:28 3153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di suatu senja yang cerah, ada salinan selebaran berjudul "The White Rose" tiba-tiba muncul di universitas tempat mereka kuliah. Selebaran tersebut berisi esai yang mengatakan bahwa sistem Nazi telah secara perlahan-lahan memenjarakan orang Jerman, dan bahkan sekarang ini sementara menghancurkan warga Jerman perlahan namun pasti. Rezim Nazi telah berubah menjadi jahat. Sudah waktunya sekarang, ya waktunya bagi Jerman untuk bangkit dan melawan tirani pemerintah mereka sendiri. Di bagian bawah esai tersebut ada sebuah ajakan: "Silakan memperbanyak salinan selebaran ini, dan Anda dapat menyebarkannya sebanyak mungkin." Siapa yang diam-diam berani membuat dan menyebarkan selebaran ini pertama kali? Sophie dan Hans.

Selebaran itu rupa-rupanya mulai menyebabkan ‘keributan’ luar biasa di antara para mahasiswa yang masih saling berbeda pendapat. Memunculkan perbedaan pendapat di internal kampus tentang bagaimana mengambil sikap terhadap rezim Nazi. Pengaruh esai tersebut pun lambat laun semakin meluas. Ada banyak leaflet lain yang muncul segera sesudah esai pertama itu beredar. Lalu muncul lainnya, dan lainnya lagi. Publikasi ini pun berlangsung secara periodik dari tahun 1942 sampai 1943. Pengaruh selebaran yang disebar itu semakin meluas. Selanjutnya ada berbagai graffiti bermunculan di sana-sini yang isinya mengecam pemerintahan Hitler dan Nazi. “Turunkan Hitler!” atau “Hitler Pembunuh Massal!” dapat dibaca di dinding-dinding gedung dan jalanan kota. Ini tentu membuah Hitler dan Nasi gusar dan marah.

Tanggal 18 Februari 1943, Hans Scholl, Christoph dan Sophie rupanya mengalami nasib kurang beruntung. Mereka tertangkap tangan sementara menyebarkan pamflet di kampus. Dakwaan terhadap mereka pun dijatuhkan, yaitu tindakan pengkhianatan. Mereka lalu disidangkan. Hukuman harus segera dijatuhkan. Tidak ada saksi yang dipanggil oleh karena ketiganya mengakui dengan jelas dan tegas perbuatan mereka menyebar pamflet-pamflet itu. Tidak ada bantahan di sana. Salah seorang jaksa penuntut sampai menunjukkan sikap kurang senang dan rasa herannya, ia mengatakan, “I can only say fiat justitia. Let justice be done". Atau dengan kata lain, “Let the accused get what they deserve.”. Biarlah para terdakwa menerima apa yang pantas mereka terima. Mereka tidak usah dibela.

Para jaksa penuntut lain pun tidak habis pikir, kenapa dan ada apa sebenarnya dengan anak-anak muda ini? Mereka lahir dan besar dari keluarga baik-baik dan keluarga terhormat. Mereka masuk dan bersekolah di sekolah German, bahkan pernah menjadi anggota ‘Hitler Youth’. Lantas kemudian kalau begitu apa yang lalu menyebabkan mereka berpaling dan pikiran mereka seakan diubahkan?

Jawaban Sophie Scholl di ruang pengadilan itu mengejutkan para jaksa penuntut, dan semua orang yang hadir di ruang sidang saat itu. Dia berkata dengan lantang dan mantabnya kepada para jaksa penuntut, “Somebody, after all, had to make a start. What we wrote and said is also believed by many others. They just don't dare to express themselves as we did.” Jadi Sophie mengatakan bahwa harus ada seseorang yang memulainya. Apa yang mereka katakan dan mereka tulis dalam selebaran itu sebetulnya diyakini dan diamini juga oleh begitu banyak orang lain, hanya saja mereka terlalu takut untuk mengekspresikan keyakinan mereka itu, tidak sama seperti ketiga pemuda pemberani ini. Bahkan Sophie dengan beraninya, pada persidangan berikutnya berkata lagi, “You know the war is lost. Why don't you have the courage to face it?” Kata-kata yang pastinya membuat para jaksa mengerenyitkan kening mereka, dan bertambah gusar.

Selama persidangan, beberapa kali orang tua Shopie datang berkunjung dan menghiburnya. Pernah satu kali, ayahnya dilarang masuk ruang sidang ketika sidang sementara berlangsung. Robert ayahnya itu tetap saja memaksakan diri untuk masuk. Dia mengatakan kepada pengadilan itu bahwa dia datang ke sana untuk mempertahankan anak-anaknya. Nah, ketika ia berhasil masuk, penjaga dalam ruang sidang itu langsung berusaha membawanya ke luar ruangan itu lagi. Robert berteriak keras dalam ruangan itu, sebelum dirinya akhirnya dipaksa keluar, “One day there will be another kind of justice! One day they will go down in history!” Suatu hari kelak akan ada bentuk keadilan lain yang menyeruak muncul. Suatu hari nanti mereka akan tercatat dalam sejarah.

Dan, memang benar, Shopie dan ‘white rose’ tercatat dalam sejarah.

Setelah beberapa hari usai, pimpinan sidang akhirnya memutuskan bahwa mereka bertiga guilty of treason (bersalah atas penghianatan) dan hukumannya adalah death sentence (hukuman mati).

Tetap tegar…

Sophie Scholl menghampiri ibunya setelah ke luar dari ruang sidang, sehabis keputusan dibacakan. Ia lalu memeluk dan menciumi ibunya dengan penuh kasih, dan dengan tegar serta rasa bangga ia berkata, “We took everything upon ourselves. What we did will cause waves.” Apa yang sudah mereka buat akan menimbulkan banyak gerakan perlawanan terhadap Hitler. Sejarah kemudian membuktikan kebenaran kata-kata Sophie. Ibunya menangis. Tangisan ini adalah tangisan kepedihan akan segera kehilangan anak, namun juga ada rasa bangga memiliki anak pemberani dan tangguh, yang terus berjuang untuk sebuah masa depan, meski kematianlah yang harus ditanggungnya.

[caption caption="Kesaksian penjagal kepala (pic source: www.wordbypicture.com)"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun