Banyak di antara kita sudah tahu bahwa konvergensi media adalah penggabungan atau pengintegrasian media-media yang ada untuk digunakan dan diarahkan kedalam satu titik tujuan. Namun secara lebih luas lagi maka konvergensi media tidak melulu hanya pada soal pergeseran teknologi atau proses teknologi, melainkan juga termasuk sesuatu yang lebih luas lagi seperti umpamanya pergeseran besar dalam paradigma industry media, budaya, dan juga sosial, yang pada tataran tertentu mendorong konsumen untuk mencari beragam informasi baru, melalui berbagai macam perkembangan teknologi yang ada dan semakin maju. Gerakan konvergensi media tumbuh secara khusus justru oleh karena perkembangan pesat dunia internet dan adanya digitalisasi dunia informasi.
Menurut catatan yang saya baca, pendorong awal terjadinya konvergensi media ini sebetulnya terjadi pada tahun 2009, yaitu ketika sebuah penerbitan surat kabar media besar di Amerika Serikat The Boston Globe sementara menunggu nasib untuk segera ditutup, alias akan mengalami kebangkrutan. Keberadaan koran yang sudah berusia 137 tahun itu terus merosot oleh karena perubahan perilaku konsumen dalam hal membaca berita. Apa akibatnya? Oplah Koran tersebut menurun drastis sekitar 14% dalam enam bulan saja. Masih pada tahun yang sama, di Amerika Serikat terjadi penurunan jumlah sirkulasi dan pendapatan dari iklan, hal ini memaksa surat kabar cetak semisal Tribune Co. akhirnya harus memutuskan hubungan kerja (PHK) tidak kurang dari 61 orang. Hal yang sama juga terjadi pada The Baltimore Sun, dan Chicago Tribune yang mesti melakukan pengurangan karyawan besar-besaran. Ini tentu tak terlepas dari preferensi konsumen yang mind-setnya mulai berubah.
Menurut tulisan di Daily, et. Al (2005), konvergensi media merupakan kolaborasi yang terdiri dari lima tahap: 1). Cross-promotion, 2). Cloning, 3). Coopetition, 4). Content-sharing, 5). Full convergence. Sedangakan menurut Grand dan Wilkinson, bahwa konvergensi media meliputi lima dimensi besar yaitu: konvergensi teknologi, konten multimedia, kepemilikan, kolaborasi, dan koordinasi (Grant dan Wilkinson, 2009). Kelima dimensi itu tidak bisa dipandang secara mutlak, Grant dan Wilkinson sendiri mengatakan demikian oleh karena menurut mereka bahwa inti dari konvergensi sebetulnya adalah perubahan.
Nah, konvergensi di Indonesia sepertinya lebih condong ke modelnya Grant dan Wilkinson. Di Indonesia dua arus besar konvergensi media adalah Surat Kabar Harian (Koran) dan Majalah Mingguan. Surat kabar harian dipelopori oleh sebut saja Kompas, Seputar Indonesia, Bisnis Indonesia, Media Indonesia, dan lain sebagainya. Untuk majalah mingguan dipelopori oleh Tempo dan Gatra, serta beberapa majalah besar lainnya.
Perkembangan konvergensi di Indonesia semakin cepat, dengan memakai konsep CDT: Cetak-Digital-TV. Ketiga platform ini sepertinya adalah sebuah keniscayaan saat ini, maka berlomba-lombalah media memadukannya demi meraup semakin banyak ‘pelanggan abadi’, 'customer tetap', dan pengunjung setia. Ambil contoh MNC Group yang semakin semarak dengan konsep cetak-digital-tv mereka. Tujuannya apa? Semakin dikenal, semakin terkenal, dan semakin terjangkau publik. Kompas juga tak mau ketinggalan, setelah sukses di ranah digital kini mereka hadir dengan kompas tv yang semakin diminati. Bahkan cucunya pun, yaitu Kompasiana tak bisa dipungkiri sudah ambil bagian dalam konvergensi tersebut meski porsinya baru sedikit, yaitu dengan menghadirkan Kompasiana TV. Konvergensi media memang luar biasa, dan ajaib benar.
Konvergensi media pada akhirnya mesti menjadi pilihan yang seharusnya diambil dan dilakukan oleh media –media di Indonesia. Kalau mereka memang menghendaki pengembangan pasar yang simultan, baik dari segi pembaca maupun pengiklan maka mau tidak mau konvergensi media menjadi sebuah urgency. Tentu saja kunci suksesnya sebuah konvergensi adalah utamanya terletak pada konten yang dimilikinya. Seberapa besar konten tersebut disukai pengunjung. Seberapa kuat konten tersebut dapat menarik para pemasang iklan. Dalam hal ini maka inovasi konten kemudian menjadi amat sangat penting.
Kalau media hanya menciptakan berbagai macam realitas palsu, latah sebagai pengekor dengan konten buruk dan sajian yang tak layak tonton, maka upaya konvergensi pada akhirnya hanya akan menemukan jalan buntu, dan tuaian kritik. Konten dalam setiap tayangan memang adalah 'raja'. Kelas sebuah tayangan itu bergantung penuh pada kontennya. Philip K Dick berkata,"We live in a society in which spurious realities are manufactured by the media, by governments, by big corporations, by religious groups, political groups. I ask, in my writing, 'What is real?' Because unceasingly we are bombarded with pseudo realities manufactured by very sophisticated people using very sophisticated electronic mechanisms." Intinya menurut dia bahwa kita hidup dalam masyarakat yang dipenuhi oleh banyaknya realitas palsu yang diproduksi oleh media, oleh pemerintah, oleh perusahaan-perusahaan besar, oleh kelompok-kelompok agama, kelompok-kelompok politik. Tak henti-hentinya kita dibombardir dengan realitas semu yang diproduksi oleh orang yang sangat canggih dengan menggunakan mekanisme elektronik yang sangat canggih pula.
Budaya modern saat ini telah memudahkan semua orang untuk melakukan banyak hal hanya lewat gadget yang ia pegang. Smartphone dan media digital lainnya memungkinkan kita untuk membaca, mendengar, dan menonton apapun yang kita sukai dari dan di manapun kita berada. Tidak kemana-mana namun kita bisa berada dimana-mana. Menjadikan kita ini adalah pasar besar media-media yang bejibun banyak di Indonesia. Tinggal bagaimana mana mereka memanfaatkan konvergensi media dipadu kekuatan dan kearifan konten-konten yang mereka miliki, agar supaya kita-kita ini menjadi “happy customers” yang tak mudah pindah ke lain hati. Tentu kita tidak akan pindah ke lain hati kalau saja konvergensi media yang tercipta tujuan utamanya adalah demi konsumen. Tidak hanya demi keuntungan pemilik modal semata. ---Michael Sendow---
“We all have personal brands and most of us have already left a digital footprint, whether we like it or not. Proper social media use highlights your strengths that may not shine through in an interview or application and gives the world a broader view of who you are. Use it wisely” ---> Amy Jo Martin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H