Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menghargai Adat dan Budaya Lain

29 Juli 2015   16:34 Diperbarui: 11 Agustus 2015   22:22 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita memang sudah diciptakan sebagaimana adanya kita. Berbeda dalam segala hal. Kita berbeda kebudayaan dan adat istiadat, kita berbeda cara pandang, kita berbeda keyakinan, kita berbeda pula kebiasaan, tapi itu bukan menjadi penghalang kita untuk saling menghormati, bekerja sama, saling bantu, saling sapa, bergaul dan berbaur dalam masyarakat. Perbedaan itu memperindah wajah Indonesia dan wajah dunia. Bayangkan saja kalau di dunia ini hanya ada satu adat, satu budaya, satu istiadat. Apa indahnya? Tawar bagaikan makan sop tanpa garam, tanpa daging, dan tanpa apa pun. Tidak nampak keindahannya, bagaikan pula ketika kita sedang nonton TV hitam putih sambil memakai kaca mata hitam. Tidak dinamis. Tidak elok. Atau bagaikan duduk di satu kursi seumur hidup, tanpa pernah pergi ke mana-mana.

Kita kadang berkeinginan sangat kuat memperkenalkan budaya dan adat istiadat kita kepada sebanyak mungkin orang. Kita lalu berharap bahwa ada banyak orang juga yang tertarik dan menjadi suka dengan apa yang kita tampilkan dan suguhkan.
Pakar pendidikan budaya Robert Wuthnow dalam buku Communities of Discourses menulis, “They draw resources, insight and inspiration from that environment, they reflect it, speak to it, and make themselves relevant to it. And yet they also remain autonomous enough from their social environment to acquire broader, even universal and timeless appeal.” Nah, dalil Robert itu sebenarnya terdiri dari dua segi yang bertolak belakang yang terpisah oleh kata “and yet”.

Nah, menurut dalil tersebut, ketika kita sementara menyuguhkan atau menyajikan budaya kepada suatu komunitas, kita menerima dan memanfaatkan pengalaman budaya serta pemikiran-pemikiran mereka, lalu kita berefleksi diri, menjadikan diri kita relevan dengan semuanya itu. Tapi serempak kita pun menjaga jarak dengan pola pikir komunitas tersebut. Lebih simple lagi saya mau mengatakan bahwa kita jangan mentang-mentang tapi juga jangan terpengaruh. Kita menghargai budaya asal, tapi juga jangan terpengaruh dalam artian untuk malah ikut-ikutan.

Kita harus memahami betul bahwa belum tentu budaya dan adat kita adalah paling tinggi sehingga kita berusaha memaksakan itu secara drastis supaya ditiru masyarakat lain. Belum tentu juga budaya bangsa lain itu yang paling bagus, modern serta menarik sehingga kita latah meniru-nirunya. Padahal di Amerika saja banyak contoh akar budaya sebuah komunitas bisa berbeda-beda penerapannya setelah terpisah dari negara asal. Ada yang cenderung meningkat dan membaik, tapi ada yang sebaliknya. Lihatlah contoh di bawah ini. Apa yang terlihat dari dua komunitas ini boleh membuka mata kita bahwa penerapan budaya asal pun bisa terdegradasi ketika kita berada di negeri orang.

Orang Korea di Amerika memiliki budaya ‘gotong royong’ ala mereka yang sesungguhnya patut kita teladani. Mereka sangat memperhatikan para pendatang yang baru datang dari negaranya. Yang sudah mapan menampung yang baru datang, diberi makan, dicarikan kerja, diberi tempat tinggal gratis, bahkan tak sedikit yang mendapatkan modal usaha. Organisasi mereka sangat kuat, walau mungkin belum sebanyak para pendatang dari India, Amerika Latin dan Eropa misalnya. Bahkan saling tolong, saling sokong itulah juga yang akhirnya membawa seorang putra mereka menjadi walikota di kota di mana saya pernah tinggal, Edison New Jersey. Nah, kalau kita yang dari Indonesia lain. Justru kebalikannya.

Sebenarnya malu dan enggan saya mengungkapkan beberapa kenyataan yang saya jumpai ini. Tapi perlu rasanya saya sampaikan supaya menjadi gambaran dan pelajaran kita bersama. Boleh menjadi cerminan kita untuk maju. Fakta apa itu? Nah begini ceritanya, para pendatang dari Indonesia kebanyakan yang ada justru ’hobby’nya gontok-gontokkan, saling serang, saling rebut, mau menang sendiri. Kenapa? Lihat saja mereka yang sudah mapan, mana mau mereka membantu kawan-kawan yang baru datang, sangat berbeda dengan komunitas Korea tadi. Mungkin ada satu dua yang memiliki hati mulia. Tapi rata-rata dan kebanyakan, adalah yang bersikap sebaliknya.

Perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisasi yang didirikan juga sering hanya dijadikan alat untuk menang sendiri, saling bersaing menunjukkan ke-‘aku’-an semata. Tidak semua memang, tapi kebanyakan seperti itulah yang terjadi. Kamilah yang paling ini dan itu. Kamilah yang harus dihormati. Kamilah yang paling pertama, oleh karenanya menjadi yang paling senior adalah top banget, sehingga dengan demikian yang junior-junior harus tunduk. Hanya organisasi kamilah yang boleh maju, yang lain silahkan ’gulung tikar’ dan ciao saja dari sini. Contoh yang sangat tidak layak untuk ditiru.

Padahal, bukankah justru karena di negeri orang kita sudah seharusnya dan semestinya memelihara serta menumbuh-kembangkan budaya kita yang tolong menolong, saling bantu, ‘mapalus’, gotong royong? Bukan yang sebaliknya yang kita lakukan. Apakah budaya dan mental kita memang sudah seperti itu? Saya sebetulnya yakin bahwa kita masih bisa lebih baik dari itu. Semoga saja.

***

 

”Menghargai bukan berarti harus mengikuti”----Michael Sendow

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun