Hidup di negara-negara super maju pasti akan diperhadapkan pada banyak kesempatan baik, pun banyak resiko tidak baik. Bagai sebuah koin yang selalu saja ada dua sisi. Dua sisi yang tidak bisa ditolak, seberapa kuat pun kita menghendakinya. Nah, salah satu tantangan besar yang dihadapi manusia dalam dunia kesehatan adalah AIDS. Semenjak penyebaran HIV/AIDS dimulai, maka tak kurang 60 juta orang sudah terinfeksi (data UNAIDS tahun lalu), dan ada lebih dari 20 juta orang di antaranya meninggal dunia. Ini adalah sebuah angka yang tidak main-main. Diperkirakan ada sekitar 16 000 infeksi baru yang terjadi setiap harinya. 50 % di antaranya adalah anak-anak muda. Di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta orang hidup dengan keadaan diri yang terinfeksi HIV, dan menurut hasil penelitian sekitar 18% justru tidak sadar atau tidak mengetahui kalau diri mereka sudah terinfeksi.
AIDS sesungguhnya adalah salah satu penyakit mematikan sama halnya dengan penyakit-penyakit mematikan lainnya, seperti umpamanya malaria, tuberculosis, kanker, dan lainnya. Namun yang membuatnya berbeda adalah bahwa penderita AIDS akan menjalani dan merasakan dampak yang lebih besar dalam kehidupannya. Perasaan ditolak, didiskriminasi, diisolasi akan senantiasa menghantui dirinya, di mana pun mereka hidup, kemana pun mereka pergi. Dengan kata lain, mereka tidak hanya menderita secara fisik tapi juga batin. Ini jelas akan memengaruhi kondisi penderita, dan kehidupan sosialnya di masyarakat. Cara pandang yang sangat amat sangat negatif bagi para penderita AIDS ini sangatlah merusak dan menghancurkan. Cara pandang seperti itu kerap menisbikan hak asasi yang dimiliki si penderita. Bahkan kalau boleh saya berkata sedikit lancang, bentuk-bentuk diskriminasi terhadap para penderita AIDS ini bisa jadi akan lebih berbahaya dari penyakit itu sendiri.
Kurangnya penerapan dan pengenalan Hak Asasi Manusia terhadap penderita AIDS tidak hanya akan menyebabkan ‘luka mendalam’ bagi si penderita, namun juga lebih daripada itu, hal tersebut dapat berkontribusi langsung terhadap penyebaran wabah HIV. Kenapa demikian? Ya karena kurangnya pengenalan serta perhatian, maka dampak dan pengetahuan akan penyakit ini menjadi semakin terbatas. Sebagai contoh sederhana, ketika hak asasi penderita tidak mendapat respek yang sewajarnya, maka sang penderita pasti menjadi kurang berminat untuk mencari pihak-pihak yang dapat ia mintai keterangan, atau berkonsultasi. Lantas apa akibatnya? Penyakitnya ia pendam sendiri, termasuk tidak mencari langkah-langkah pengobatan dan sebagainya, ini jelas akan memungkinkan peningkatan resiko ia menularkan sakitnya ke orang lain di sekitarnya.
Pengalaman Berkawan Dengan Seorang Penderita AIDS
Ada seorang kawan saya penderita AIDS di Amerika Serikat. Ia adalah warga Amerika berkulit hitam. Datang dari keluarga kurang mampu, meniti karir sebagai operator mesin di salah satu perusahaan pembuat botol obat terbesar di Amerika. Lama kelamaan, hanya dari posisi bawah ia naik menjadibagian dari Group Leader, yang membawahi beberapa anak buah di perusahaan tersebut. Singkat cerita, karirnya melaju pesat, sampai akhirnya ia diketahui atau didiagnosa dokter menderita AIDS. Saat itulah titik jatuh ia alami, mengubah sisa hidupnya menjadi lebih berat dan lebih rentan.
Entah karena kurangnya pemahaman banyak orang mengenai penyakit yang satu ini, nasib kawan saya seperti langsung tamat seketika itu. Boss perusahaan dengan tegas meminta supaya kawan saya berhenti saja dari perusahaan tersebut. Diskriminasi dan penolakan yang tidak pada tempatnya ternyata masih kerap kali berlangsung tanpa bisa ditawar lagi, bahkan di negara semaju Amerika sekalipun.Dengarkan keluhan kawan saya, “My boss asked me to leave. I explained to him that the doctor had said there was no risk to other workers whatsoever, but my boss said he did not want me to stay any longer and he did not want any trouble.”
Saya berusaha membantu dia dengan segala macam cara. Mulai dari melobi bossnya, menghubungi dokternya supaya bisa memberikan pencerahan terhadap bossnya, sampai kepada mencarikan alternatif kepada kawan yang masih muda itu. Kasihan juga, masih di usia produktif dan harus tertolak oleh karena penyakit yang sebetulnya mesti dipandang sebagai sebuah penyakit umum laiknya malaria, diabetes, penyakit hati, dan lain sebagainya itu.
Padahal, bukankah penyakit ini tidak akan tertular selama kita tidak melakukan hubungan seks, atau terjadi pertukaran darah. Kawan saya pun mengakui bahwa ia kemungkinan tertular sewaktu transfusi darah pada saat ia mengalami pendarahaan hebat akibat kecelakaan lalu lintas. Bukan karena perbuatan negatif lainnya.
Kami sempat menghubungi semacam organisasi peduli penderita AIDS di New York, sekedar untuk meminta bantuan moril dan dukungan dalam bentuk apapun bagi kawan saya, penderita AIDS itu. Ini baru satu contoh kasus. Dalam realitanya, bisa jadi ada jutaan orang yang bernasib seperti kawan saya, ditolak dan didiskriminasi karena mengidap AIDS. Sesuatu yang sebetulnya belum tentu karena kesalahan dia. Ini adalah kenyataan yang sungguh memiriskan dan menyakitkan.
Singkat cerita, kawan saya akhirnya, setelah melalui perjuangan panjang, dapat kembali bekerja dan beraktifitas seperti biasa lagi. Alangkah menyakitkan, dan betapa menyesakkan bila ditolak oleh karena sebuah penyakit yang sebetulnya bukan keinginannya untuk mengidap penyakit itu. Tapi dunia memang tidak semanis yang kita harapkan. Tentu saja.
Kawan saya tidak pernah memilih untuk mengidap AIDS, begitu juga dengan jutaan penderita lainnya. Apalagi mereka yang tertular karena jarum suntik dan transfusi darah. Banyak anak-anak kecil yang tidak mengerti apa-apa tentang AIDS akhirnya harus menerima kenyataan bahwa diri mereka sudah tertular HIV AIDS. Ini menjadi kesalahan dan tanggungjawab siapa? Kenyataan-kenyataan seperti ini mestinya disikapi dengan sebijak mungkin. Kalau mereka yang sudah menderita lantas terus mendapatkan penolakan serta diskriminasi tentu akan memupus harapan mereka, untuk setidaknya hidup layak dan diterima sebagaimana adanya diri mereka, di sisa hidup mereka tentunya. ---Michael Sendow---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H