Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Angkatlah dan Acung-acungkanlah Pedang (Mu) Itu

10 April 2013   19:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:24 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angkatlah dan Acung-acungkanlah Pedang (Mu) Itu

Pekik "I Yayat U Santi" pada saat tarian Cakalele atau Kabasaran...

Setiap daerah punya adat dan kebiasaan tersendiri. Setiap daerah punya akar kebudayaan masing-masing. Akar kebudayaan tersebut lambat laun membentuk suatu nilai estetika tertentu, dan dapat terjalin dalam bingkai “Bhinneka Tunggal Ika”. Dalam konteks ini, kita dapat melihat bukan hanya berbeda-beda tetapi satu berdasarkan keanekaragaman suku bangsa semata, tapi juga dalam kebudayaan.

Di Minahada, ada sebuah bentuk budaya yang merupakan cerminan dari Bhinneka Tunggal Ika tersebut. Suku Minahasa termasuk sudah terkenal sebagai ‘suku bangsa’ yang memiliki budaya ramah, bersahabat, sopan santun, memiliki toleransi tinggi, suka bergotong-royong, saling menghargai dan saling menghormati antar sesama. Ini sudah menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat mereka.

Nah, ada seruan orang Minahasa yang sudah terkenal sejak dahulu kala, dan menjadi perhatian masa kini, oleh karena pada lambang Minahasa sekarang banyak terdapat tulisan tersebut. “I Yayat U Santi” seperti itulah bunyi ungkapan tersebut. Lalu apa arti dan makna ungkapan itu? Terjemahan harafiahnya adalah: Angkatlah dan Acung-acungkanlah Pedang (Mu) Itu.

Ungkapan ini diseru-serukan khususnya oleh para waranei atau anggota kabasaran, yaitu sekelompok penari tari pedang dalam menghadapi tantangan. Ataupun ketika sementara menghadapi musuh dalam berperang. Ini merupakan suatu komando, sebuah bentuk perintah tapi yang juga bermaksud untuk membangkitkan gairah, semangat juang, sekaligus untuk mengusir kecemasan, kekuatiran dan ketakutan ketika sedang menghadapi tantangan.

Secara turun temurun, ungkapan tersebut mendapat perluasan makna. Kini, dari waktu ke waktu ungkapan “I Yayat U Santi” juga pada akhirnya telah diseru-serukan oleh banyak pemimpin-pemimpin masyarakat dalam hal mengajak warga masyarakatnya untuk bersama-sama maju dengan kebulatan tekad melaksanakan apa yang sudah dihasilkan demi anak dan cucu, generasi-generasi penerus. Ungkapan itu juga, oleh Prof Roeroe, dinyatakan mengandung seruan supaya hendaklah kamu gagah perkasa, maju terus dan pantang mundur.

Segala sesuatu terjadi karena adanya alasan tertentu. Setiap sebab pasti ada akibat dan setiap akibat pasti ada sebabnya juga, entah kita mengetahuinya atau tidak, pasti ada sebab-sebab khusus di balik sebuah peristiwa. Mungkin saja, karena keyakinan bahwa tidak ada apapun yang terjadi secara kebetulan inilah yang juga menjadi faktor pendorong orang-orang untuk pergi dari tempat asal atau kelahirannya menuju tempat lain.

Menurut legenda, suku Minahasa merupakan suku petualang pemberani yang berlayar dari Mongolia ke Indonesia untuk mencari 'tempat tinggal' yang baru, di mana mereka bisa mengembangkan budaya mereka yang begitu unik. Dalam buku berjudul Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions yang terbit pada tahun 1952 hasil  karya Alfred L. Kroeber, dan timnya tertulis seperti ini:

. . . “culture” is not a state or condition only, but a process; as in agriculture or horticulture we mean not the condition of the land but the whole round of the farmer’s year, and all that he does in it; “culture,” then, is what remains of men’s past, working on their present, to shape their future (Myres, 1927: 16)

Tulisan itu menjelaskan dan menggambarkan bahwa budaya itu diwariskan melalui melalui kontak sosial, atau dengan kata lain sesuatu yang pada akhirnya membudaya itu muncul karena adanya interaksi antar kelompok masyarakat. Budaya juga sesungguhnya merupakan sebuah kesatuan proses kegiatan yang memang secara langsung atau pun tidak langsung bertahan sebagai warisan kepada generasi selanjutnya karena dilakukan berulang-ulang kali.

Contoh sederhana lainnya adalah Budaya mapalus. Mapalus merupakan sebuah tradisi budaya suku Minahasa di mana dalam mengerjakan segala sesuatu dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong. Budaya mapalus mengandung arti yang sangat mendasar. Budaya ini masih melekat dalam kehidupan keseharian warga Minahasa masa kini.

Ini sebetulnya telah menjelma menjadi semacam local spirit masyarakat Minahasa dalam mengejahwantahkan semboyan “Torang Samua Basudara”, yang kini semustinya ditambahkan menjadi “Torang Samua Basudara, dan Basudara yang Baku-baku Sayang”. Sebab banyak persaudaraan yang penuh dengan pertikaian, perkelahian, dan perebutan warisan. Memang betul, bagi saya, semboyan torang samua basudara belumlah cukup. Tidak boleh sampai di situ saja, kita harus menjadi saudara bersaudara yang saling mengasihi (baku-baku sayang). Dengan adanya Mapalus, intisari budaya baku-baku sayang itu dapat semakin diwujudkan secara sempurna.

Semboyan I Yayat U Santi mendorong kita untuk pantang mundur, bertekat dan bekerja keras, jangan pernah menyerah pada kenyataan hidup seberat apapun. Dan manakala I Yayat U Santi kita sandingkan dengan budaya Mapalus, itulah yang akan menjadikan kekuatan utama masyarakat Minahasa menghadapi hari esok mereka.

Mudah-mudahan teriakan I Yayat U Santi, dan semangat Mapalus dapat membasmi sikap-sikap individualisme yang kontras dengan semangat mapalus dan tumou-tou. Dapat juga mengikis habis budaya ‘cari gampang’, tidak mau bekerja keras, dan tidak sudi berusaha semaksimal mungkin. Meniadakan budaya korupsi, yang sangat bertolakbelakang dengan karakter ‘anti papancuri’ yang sudah tertanam sejak nenek moyang bangsa Minahasa jaman dulu. Semoga kita menjadi bangsa yang mampu menakar nilai-nilai budaya positif, yang sudah diturunkan oleh generasi-generasi sebelum kita, dan mampu pula memaknainya secara bijak.

I Yayat U Santi!

Michael Sendow

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun