Perjalanan Penuh Arti di Semarang, dan Berkesempatan Mengunjungi Gedung Seribu Pintu yang Angker dan Misterius
Mendapat kesempatan mengunjungi Kota Semarang tentu tidak saya sia-siakan. Minggu kemarin saya mendadak harus ke Semarang. Memang tujuan utama adalah urusan kerja, tapi karena masih ada sisa waktu 2 hari dari total 5 hari selama di Semarang, maka jalan-jalan pun musti dimanfaatkan sebaik mungkin. Itu pikiran pertama yang terlintas di benak saya. Lantas tempat apa yang menjadi sasaran tujuan utama saya jalan-jalan di sana kali ini? Itu hal berikutnya yang muncul di pikiran saya. Jawabannya? Tidak lain dan tidak bukan, Lawang Sewu! Tempat bersejarah ini sudah begitu menasional bahkan mendunia. Makanya tidak terlalu mengherankan bila Trans 7 melalui acara uji nyali Masih Dunia Lain menjadikan tempat ini sebagai ajang uji nyali, di mana akhirnya sang peserta tak kuat melanjutkan sampai akhir acara. Tempat ini setidaknya masih menyisakan berbagai penampakan penuh misteri, serta hal-hal misterius lainnya yang belum banyak terungkap. Day One… Kebetulan saya menginap di ‘pusat kota’ alias di seputaran Simpang Lima, daerah paling strategis menurut saya. Hanya dengan berjalan kaki lima menit ada Mall Ciputra untuk belanja. Di depan hotel ada kuliner macam-macam, termasuk jagung bakar yang tiap malam selama lima malam berturut-turut selalu saya santap. Ada Soto, Ikan Bakar, dan masih banyak lagi. Jalan kaki atau naik becak sekitar 15 menit saya sudah dapat menikmati pemandangan ‘kota lama’ atau ‘kota tua’. Pokoknya tempat di mana saya menginap sangat strategis. Thanks to Mbah Google yang selalu, dan selalu saja membantu saya dalam memilih lokasi-lokasi paling cocok manakala lagi berkunjung ke suatu daerah. Nah, hari pertama saya pakai untuk mengelilingi seputaran Kota Lama. Tempat ini dipenuhi begitu banyak catatan historis dengan berbagai peninggalan sejarah berupa gedung-gedung tua yang sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda tempo hari. Ada Gereja Blenduk yang sudah sangat tua, menurut penjaganya, bangunan itu sudah ada sejak tiga ratus tahun lalu, tapi masih berfungsi hingga saat ini. Ada juga hotel tua yang harga per malamnya hanya 35 ribu rupiah. Bayangkan, di jaman seperti ini masih ada hotel semurah itu? Tapi saya kurang tahu, apakah hotel itu memiliki keangkeran tersendiri atau tidak, sebab saya tidak sempat menginap di situ. Oh iya, mengelilingi Kota Lama selama setengah hari rasa-rasanya sangatlah kurang, tapi kami harus melanjutkan perjalanan untuk melihat bangunan tua bersejarah berikutnya yaitu Klenteng Sam Poo Kong, atau ada yang menyebutnya sebagai ‘Gedung Batu’. Di tempat inilah konon pertama kalinya Laksamana Cheng Ho menginjakkan kakinya di Semarang. Cheng Ho adalah Laksamana China pertama yang mendarat di Semarang. Ia juga katanya ketika itu begitu tertarik melihat berbagai jenis burung dan tanaman yang ada di Semarang, sehingga dibeli beberapa untuk dibawa pulang. Klenteng Sam Poo Kong ternyata besar juga, jauh lebih besar dari Klenteng Ban Hing Kiong yang ada di Manado. Setelah foto-foto sebentar, saya harus menyudahi kunjungan kali ini. Memang cuaca agak kurang bersahabat sore itu karena gerimis. ‘Penyakit’ aneh saya cepat kumat kalau gerimis dan udara agak dingin, penyakit yang hanya bisa sembuh kalau perut keroncongan sudah terisi oleh sesuatu yang hangat. Itulah yang kita kenal bersama sebagai ‘penyakit lapar mendadak’. [caption id="attachment_243915" align="aligncenter" width="604" caption="Salah Satu Sisi Klenteng Sam Poo Kong (Mich)"]
[/caption] Setelah seharian penuh memanjakan mata (walau di satu sisi melelahkan raga), saya harus kembali ke hotel. Selama seharian itu saya naik becak yang dikayuh seorang bapak tua. Panas dan gerimis yang datang silih berganti tidak menyurutkan niat beliau mengantar, memberi penjelasan, menunggui, bahkan memberi masukan dan alternatif pilihan bagi saya. Orangnya baik dan ramah. Saya sungguh terkesan dengan keramahan dan kesabarannya. [caption id="attachment_243917" align="aligncenter" width="604" caption="Di teriknya panas mentari, bapak tua tukang becak ini setiap menemani perjalanan saya... (Mich)"]
[/caption] Terus terang, seumur hidup baru kali inilah saya naik becak. Melihat bapak tua yang mengayuh becak untuk nafkah keluarga sungguh memiriskan juga. Tidak merasa capekkah beliau? Saya sempat dengan polosnya bilang ke bapak tersebut, “Pak gantian saja dulu, biar saya yang kayuh becaknya…kasihan pak sudah lumayan lama bapak
ngayuhnya…” Beliau hanya tertawa mendengar permintaan saya. “Saya sudah biasa pak…” Kata beliau, masih dengan nada yang penuh semangat. Demikianlah hari pertama yang penuh kejutan, serempak penuh keasyikkan.
Day Two… Hari berikutnya sudah saya tetapkan sebagai hari istimewa saya untuk ‘uji nyali’ di Lawang Sewu. Gedung yang dibangun tahun 1904 itu terletak di bundaran Tugu Muda. Banyak orang mungkin sudah mengenal gedung angker ini dengan sebutan Lawang Sewu alias Seribu Pintu. Wajar saja disebut demikian karena gedung ini memiliki pintu yang sangat banyak. Di lantai dua bisa Anda temukan satu pintu tapi berlapiskan tiga pintu. Gedung ini juga memiliki banyak jendela. [caption id="attachment_243918" align="aligncenter" width="604" caption="Layak disebut gedung seribu pintu... (Mich)"]
[/caption]
Ternyata di sini juga pernah menjadi lokasi pertempuran yang hebat antara pemuda AMKA atau Angkatan Muda Kereta Apimelawan Kempetai dan Kidobutai, Jepang. Itulah juga alasannya bagi Pemerintah Kota Semarang memasukan Lawang Sewu sebagai salah satu dari 102 bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi. Tapi yang lebih membuat bulu kuduk merinding, bahwa basement (lantai bawah tanah) gedung ini dulunya pernah dijadikan sebagai tempat pembantaian dan penyimpanan mayat, baik oleh tentara Belanda dan tentara Jepang. Di situlah tempat uji nyali sesungguhnya. Untuk turun ke bawah, saya harus memakai sepatu boots yang sudah disediakan karena dasarnya digenangi air, dan tentu saja membawa senter sebagai penerang karena gelapnya minta ampun. Kalau ada yang mau turun dan sengaja meminta supaya lampunya dimatikan, jangan lupa bawa senter. Waktu itu ada rombongan turis dari Inggris juga, mereka dan kami mendapat penjelasan panjang lebar dari salah seorang guide gedung tua itu. “It’s so scary….Oooo…oooo…Spooky”, pria bule itu menakut-nakuti istrinya. Lumayan seru dan menegangkan memang situasi dan suasana saat itu. Saya ngobrol cukup lama dengan mereka. Rupa-rupanya mereka bukan sekedar turis biasa, tapi juga peneliti dari sebuah universitas di Inggris. Kami menyusuri setiap sudut bangunan tua itu. Lorong-lorong yang pekat dan dipenuhi aroma tidak sedap. Saya kemudian menyempatkan diri untuk masuk di sebuah bilik yang ternyata bekas toilet jaman penjajahan dulu. Sangat pengap, dan menurut bahasa paranormal, terlihat ‘aura’ sangat tidak menyenangkan di situ he he he. Ya iyalah, mana ada bau toilet yang menyenangkan. Nampak di bagian atas segerombolan kelelawar sementara memanfaatkan waktu tidur mereka. [caption id="attachment_243920" align="aligncenter" width="587" caption="Kelompok kelelawar yang lagi "]
[/caption]
Menaiki lantai dua dari arah belakang gedung mata saya sempat terpaku membaca sebuah papan pengumuman bertuliskan kurang lebih seperti ini, “Dilarang melakukan kegiatan mistis apapun di dalam gedung ini”. Saya tanya ke guide kita tadi itu, dan dengan sangat cepat ia pun berujar, “Iya, larangan itu dibuat karena banyak yang datang ke sini hanya untuk minta nomor togel.” Heeemmmm, luar biasa. [caption id="attachment_243921" align="aligncenter" width="575" caption="Katanya sering ada penampakan di jejeran pintu simetris ini...(Mich)"]
[/caption]
Hampir seharian kami menghabiskan waktu di tempat ini, tidak lupa untuk mampir sebentar di museum yang ada tepat di sisi kiri, lalu istirahat sejenak di bawah pohon Mangga besar di depan gedung yang katanya sudah berusia sekitar 200 tahun itu. Menurut beberapa pengunjung, mereka sudah sering ke tempat ini dan menyaksikan banyak penampakan, mendengar suara-suara misterius dan lainnya. Mereka bilang untuk menyaksikan lebih jelas lagi kita harus datang pada malam hari, lebih lagi pada malam Jumat. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, tibalah saatnya kami harus pulang. Semarang dengan Kota Tuanya dan Lawang Sewunya telah menorehkan sebuah memoar catatan perjalanan yang tidak mungkin saya lupakan. Kini, selamat tinggal Semarang, nantikan kedatangan saya di waktu yang berbeda, kesempatan yang berbeda, tapi tetap dengan semangat yang sama. Selamat Akhir Pekan. ---Michael Sendow--- ***
[caption id="attachment_243923" align="aligncenter" width="594" caption="Tidak lupa foto bersama si Semar...(Mich)"]
[/caption]
Kita sudah diberikan sejarah yang panjang dan penuh makna. Nikmati itu dengan penuh rasa syukur, dan peliharalah dengan penuh tanggungjawab (MS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya