Dapatkah Penjara Bersikap Adil dan Manusiawi Terhadap Setiap Tahanan?
Penjara atau rumah tahanan sering menjadi momok menakutkan bagi siapa saja yang hendak masuk ke situ. Mungkin di antara kita belum pernah ada yang berminat mengadakan liburan menginap 2 hari 3 malam dalam penjara. Tapi herannya, banyak penguasa negeri ini, anggota dewan, dan kalangan pejabat yang ‘doyan’ masuk penjara. Apakah rumah mereka kurang nyaman untuk ditinggali? Saya kurang tahu.
Kali ini saya ingin sekali menuliskan tentang seberapa adil sih kehidupan dalam penjara, serta sikap para petugas yang ditugaskan di dalam penjara tersebut. Masing-masing penjara di tiap negara tentu punya mekanisme sendiri, dan aturan main sendiri. Setiap petugas yang bekerja di sana juga tentu punya cara dan prilaku masing-masing. Pertanyaannya, seberapa adil dan manusiawi kah mereka itu?
Mungkin Anda semua sudah tahu ‘bocoran’ Wikileaks tentang penjara Guantanamo. Entah benar atau tidak, tapi kita akan tertegun seandainya laporan itu benar. Mereka menunjukkan beberapa bukti foto pada saat itu mengenai betapa kejamnya para tawanan di sana diperlakukan. Penjara yang didirikan oleh Angkatan Laut Amerika pada sekitar Januari 2002 itu memang sudah menjadi ‘Neraka’ bagi begitu banyak tawanan.
Cara-cara mengerikan dan menjijikkan bagaimana para tawanan diperlakukan antara lain adalah umpamanya wajah para tawanan yang dilumuri kotoran manusia. Ada sebagian yang ditelanjangi dan dibiarkan kelaparan ketika udara sangat dingin. Membenturkan wajah para tawanan ke lantai hingga berdarah-darah, bahkan sampai kepada menyetrum tawanan dan wajah mereka ditenggelamkan ke dalam air. Washington Post di tahun 2003 pernah menuliskan berita bahwa pemerintah Amerika menyetujui 20 metode siksaan untuk diterapkan di Guantanamo, di antaranya adalah para tahanan tidak dibiarkan tidur dan dibiarkan kepanasan serta kedinginan.
Lantas bagaimana penjara di Indonesia? Tidak ada penyiksaan berat seperti di Guantanamo memang. Akan tetapi, ternyata bicara keadilan di penjara itu hanya berlaku bagi mereka yang masuk dengan tangan kosong alias tidak berduit. Oleh Rahardi Ramelan dalam sebuah bukunya diistilahkan sebagai ‘anak-anak bawah’, sebuah fakta aktual yang ia saksikan selama ia ditahan di Cipinang.
Bagi ‘anak-anak atas’ atau mereka yang berduit, pejabat, penguasa dan pengusaha, keadilan dapat ditentukan dengan nilai uang yang dimiliki. Itulah harga yang harus dikeluarkan untuk membeli keadilan dalam penjara. Larangan membawa ponsel hanya berlaku untuk mereka yang tidak berduit (kelas bawah). Bagaimana yang kelas atas? Oh, jangankan ponsel, karaoke pun bisa dibangun untuk melepas kejenuhan. TV, kulkas, spring bead, DVD player sudah barang tentu menjadi milik kelas atas. Yang kelas bawah? Silahkan gigit jari, karena kemiskinan memaksa mereka harus menumpuk dalam sel persis ikan teri. Sel yang ditempati pun katanya banyak yang sudah bau pesing kiri-kanan.
Bisnis dalam penjara pun dijalankan oleh siapa saja. Mulai dari bisnis obat terlarang sampai kepada pungli dan urusan syahwat para tawanan. Luar biasa. Lahan bisnis yang subur di penjara, menurut Ramelan bisa mencapai 20 Milliar setiap tahunnya. Para sipir tiap bulannya memanen uang yang tidak sedikit.
Neraka Menjadi Sorga di Penjara Tihar
Lain di Amerika, lain di Indonesia, lain pula di India. Di sinilah kita mesti belajar banyak. Di India ada sebuah penjara yang paling angker. Anda mungkin sudah pernah mendengar penjara bernama Tihar di pusat New Delhi India. Di situ sudah terkenal sebagai penjara paling mengerikan, kotor, busuk, rusak dan penuh kejahatan terselubung. Makanan yang dimasak di dapur penjara itu untuk makanan para narapidana adalah sayur mayur saja, tapi menurut kesaksian beberapa narapidana justru terlihat seperti non vegetarian food karena sayurannya sudah dipenuhi banyak serangga. Jadi sayur-mayurnya campur serangga.
Nah, di dapur itu yang menjadi juru masaknya adalah seorang narapidana yang bisa masak, tapi ia tidak dibayar. Ironisnya, narapidana yang tidak dibayar untuk masak memasak itu adalah juga orang yang menyebarkan dan menularkan kuman, cacing, dan bakteri karena kukunya tidak pernah dipotong, tangan dan baju tidak pernah dicuci, serta rambut yang kusut dan kumal. Pokoknya serba kotor dan menjijikkan. Tukang masak di penjara itu tidak pernah diperiksa kesehatannya, padahal ada yang akhirnya ketahuan menderita penyakit TBC dan infeksi saluran penapasan, serta penyakit-penyakit menular lainnya. Jadi inilah gambaran betapa jorok dan kotornya penjara tersebut.
Penjara Tihar juga sangat terkenal dengan berbagai tragedi yang menyayat hati. Di situ juga sering terjadi peperangan antar geng, tempatnya para narapidana yang menjalankan praktek pemerasan dari balik jeruji, sarana korupsi yang sudah luar biasa merajalela oleh para aparat, serta kekerasan dan penganiayaan. Tempat yang sangat layak disebut neraka. Lalu apakah ribuan orang dibalik jeruji besi itu lantas bukan siapa-siapa lagi, dan pantas dihabisi saja? Atau dikucilkan, dibiarkan, dan dibuang saja?
Bagi seorang bernama Dr. Kiran Bedi jawabannya adalah ”tidak!” Mereka tetap pantas dikasihani dan dikasihi. Kiran Bedi adalah seorang Inspektur Jendral yang ditugasi untuk memimpin penjara paling angker Tihar tersebut. Sewaktu baru ditunjuk, sebagai orang baru ia berkeyakinan sangat teguh bahwa ia akan bisa menjadikan penjara itu menjadi Nirvana atau sorga bagi banyak orang. Ia ingin mengubah Neraka Tihar itu menjadi Sorga. Anda mau tahu apakah ia berhasil atau tidak? Setelah bertahun-tahun memimpin penjara Tihar, wanita itu akhirnya berhasil mengubah penjara itu menjadi ’sorga’ bagi setiap penghuni di dalamnya. Ia melakukan semuanya itu dengan segala cinta dan kasih yang ia miliki. Cinta dan kasih yang tulus seperti yang dipunyai seorang Mother Theresa. Mereka memperjuangkan amanat cinta kasih itu tanpa pernah membeda-bedakan. Bagi mereka itulah arti menjadi orang baik. Tidak memandang siapapun yang dihadapi. Bukan dilihat dari perbedaan agama, ras, maupun kebangsaannya.
Wanita ini berhasil menjadikan para tawanan-tawanan di Tihar sebagai manusia-manusia yang berkualitas, memiliki harga diri, dan pantas disebut orang pilihan. Mereka (para tawanan) menjadi benar-benar diangkat derajatnya dan diubahkan menjadi manusia berkualitas yang layak dihargai dan dihormati, bukan sampah masyarakat.
Dr. Kiran Bedi dianugerahi penghargaan Tom Gitchoff Award pada tahun 2001 di Amerika Serikat, karena dianggap telah berhasil mengubah secara signifikan kualitas keadilan di India. Keberhasilannya membuat Tihar menjadi Nirvana juga menjadi sorotan banyak media masa kala itu. Bahkan ada sebuah kesaksian dari bekas narapidana di penjara itu yang menulis seperti ini:
”Aku menyangka Nirvana itu hanya ada ketika nyawaku telah tiada, namun ternyata aku salah. Nirvana tidak hanya berada di alam sana. Ialah Tihar, sebuah Nirvana di balik jeruji besi.”
Manusia dengan latar belakang yang berbeda baik dari segi suku, ras, agama, dan warna kulit adalah sebuah keniscayaan yang tak terelakkan. Semua hal berbeda itu sudah ada sebelumnya, dan mau tidak mau seorang anak manusia harus belajar untuk menerima semuanya itu dengan hati yang terbuka. Karena dihadapkan pada aneka kenyataan perbedaan yang terberi ini, manusia belajar untuk menyesuaikan diri agar bisa berelasi dengan sebaik mungkin dan secara harmonis dengan yang lain (yang berbeda dengan dirinya). Dengan demikian, realitas perbedaan tidak bisa dihapus sama sekali dari muka bumi ini demi sebuah harmoni palsu yang ingin dibangun. Sebab harmoni sejati dibangun bukan di atas kesamaan, tetapi di atas perbedaan. Kalau itu bisa terpahami dengan benar, maka menjadi orang yang baik bukan lagi sekedar slogan atau fatamorgana semata.
Penjara dijalankan oleh orang-orang dan bukan robot. Orang baik yang menjalankan penjara tentu berperan menjadikan penjara lebih 'mulia' di mata masyarakat. Menjadi orang baik seperti apa yang dicontohkan Dr. Kiran Bedi dapat ditiru oleh sipir-sipir maupun pemimpin penjara manapun. Keadilan di dalam penjara pun bukan lagi kemustahilan.
Apakah penjara bisa menciptakan keadilan? Keadilan bukan hanya dari segi hukuman, tapi juga kemanusiaan? Semoga saja. ---Michael Sendow---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H