Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Puasa Korupsi atau Merdeka dari Korupsi?

19 Agustus 2011   02:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:39 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Merdeka Dari Korupsi atau Puasa Korupsi?

[caption id="attachment_126436" align="alignright" width="300" caption="(Dari Photostock Site)"][/caption]

Sudah 66 tahun kita merayakan secara berulang-ulang kemerdekaan kita (65 kali perayaan), dan itu berarti sudah 66 kali bendera merah putih naik ke puncak tiang dalam rangka 17 Agustusan di Istana Negara. Media apapun telah menyiarkan dan melaporkannya dengan gegap gempita. Riuh dan ramai. MERDEKA!! Di setiap pelosok negeri juga menyambut dengan semarak dan keramaian yang sama. Bahkan ada yang melaksanakannya dengan sangat meriah dan super heboh.

Tapi ada berbagai dan beragam tulisan gugatan kemerdekaan yang begitu menonjol, salah satunya adalah apakah kita sudah merdeka dari korupsi? Faktanya? Mengenyahkan kita dari kursi yang nyaman dan membangunkan kita dari tidur panjang selama 66 tahun. Kenapa? Karena kenyataannya sangat memiriskan.  Lapangan upacara memang  penuh ketika kita mengangkat tangan untuk menghormati sang Merah Putih yang berkibar ditiup angin. Tapi fakta bahwa kita sesungguhnya belum bebas dan merdeka dari korupsi sangatlah kentara. Bahkan bebas dari korupsi diartikan bebas untuk korupsi!

Hitung saja sendiri berapa banyak pejabat negara dan pejabat daerah, yang masih aktif maupun yang sudah non-aktif terlibat kasus korupsi. Kepala daerah, pimpinan partai, walikota, polisi, pengacara, dosen, guru, bahkan hakim dan jaksa sekalipun, banyak dari mereka bahkan harus masuk bui. Tidur nyaman di sana. Orang-orang yang seharusnya jadi pola anutan ternyata tidak mau membebaskan diri mereka dan merdeka dari korupsi. Ketamakan, kerakusan dan keserakahan terus membelenggu dan membingkai hidup keseharian. Tapi juga mereka tetap asyik dan tak mau peduli, apa mungkin karena hukum itu hanya bertindak laiknya pisau dapur? Tajam ke bawah tapi tumpul ke atas?

Korupsi telah menggerogoti hampir semua urat nadi bangsa ini, mulai dari kepala sampai ujung kaki. Dari pusat sampai pelosok, entahkah dia kepala daerah maupun kepala sekolah. Mau dia legislatif, yudikatif ataupun eksekutif tak bebas dan tak lepas dari korupsi. Belum merdeka dari korupsi. Mungkin benarlah bagi mereka bahwa merdeka dari korupsi itu seharusnya diubah menjadi merdeka untuk korupsi. Apa tanda-tandanya? UU Tipikor yang diubah-ubah seakan-akan menyokong orang untuk korupsi, pernyataan-peryataan yang sepertinya membenar-benarkan tindakan korupsi bahkan sampai pada keinginan untuk membubarkan KPK, juga tindakan-tindakan korupsi yang tak habis-habisnya. Bukan cuma ratusan juta. Itu kecil! Miliaran dan triliunan, itu baru asyik menurut mereka.

Nah, bagi para pejabat koruptor yang menjalankan bulan buasa, mungkin saja bulan ini mereka punya target dan berusaha untuk berpuasa dalam melakukan tindakan kejahatan korupsi. Tapi kalau itu yang terjadi justru akan menggelikan, masak sih cuma puasa korupsi selama sebulan, lalu setelahnya apa? Ya korupsi lagi dong yah?

Tapi juga ada yang lebih parah, puasa korupsi pun dipelintir menjadi korupsi puasa. Wah..wah..wah..ini betul-betul rakus dan maruk. Bukannya bulan puasa menjadikan mereka lebih baik, lebih mampu menahan diri dari godaan dan hawa nafsu, termasuk godaan untuk korupsi, tapi saking rakus dan tamaknya, ‘darah koruptor’ dan ‘pelet kosupsi’  sudah mengalir kencang dalam diri maka puasapun akhirnya dikorupsi pula. Puasa dikebiri.

Bagaimana mereka mengebiri puasa? Yaitu tidak menuntaskan puasa. Mungkin saja ada yang mengebiri 5 menit, 10 menit atau 15 menit? Katanya yang paling parah adalah 10-5 menit menjelang berbuka, godaannya amat kuat untuk segera menyantap atau meminum apa yang sudah tersaji di depan mata. Dipelototin melulu, lebih baik embat aja ah, kan tinggal 5 menit.

Lha kalau puasa dikorup? Artinya tidak menjalankan puasa sama sekali tanpa alasan yang cukup kuat, misalnya kesehatan yang tidak memungkinkan. Korupsi puasa adalah ketika mereka yang seharusnya menjalankan ibadah puasa tapi melalaikannya dengan sengaja. Mengalpakan diri dengan maksud-maksud tertentu.

Memang sudah 66 tahun kita merdeka, tapi peringkat kita sebagai negara terkorup tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan. Kapan kita bisa duduk bersanding setara dengan Finlandia, Denmark, Swedia ataupun Singapore dalam peringkat negara paling tidak korup? Atau memang kita sangat suka tetap bercokol dalam kelompok negara-negara paling korup? Itu artinya apa? Bahwa kita belum sepenuh-penuhnya merdeka.

Jadi? Ya lebih baik merdekakanlah dan bebaskanlah diri dari belenggu korupsi. Kita memang tinggal dan menetap dalam lingkungan dan budaya yang korup, tapi perubahan sangat mungkin kita lakukan, dan itu harus dimulai dari diri sendiri. Jangan hanya berhenti korupsi satu bulan doang.  Kita ingin puasa korupsi atau merdeka dari korupsi?

Michael Sendow

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun