Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Nature

Manusia Mempercepat Kiamat

7 Oktober 2011   02:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:15 1432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata Kiamat Memang Sudah Dekat.

[caption id="attachment_134434" align="aligncenter" width="609" caption="Bumi Kita Akan Kiamat Segera? (Pic. StockPhoto)"][/caption]

Mungkin kita masih ingat cerita tentang Kalender Suku Maya tentang 2012? Bahwa kalender mereka akan berakhir pada 21-12-2012, tepat hari jumat. Katanya dengan berakhirnya perhitungan pada kalender tersebut, maka berakhirlah kehidupan di bumi ini. Mungkin kita juga bertanya-tanya apakah memang tanggal itu dunia akan berakhir? Tulisan seperti yang ada di sini Episode 2012, mungkin akan sedikitnya memberikan gambaran lebih kepada kita. Silahkan dibaca. Lalu kalau memang mitos kiamat 2012 versi para penafsir kalender suku Maya ini tidaklah sebagaimana faktanya, apa fakta-fakta yang mengindikasikan bahwa kita sesungguhnya sudah di ambang kiamat? Satu hal, ingat benar bahwa kiamat tidak melulu ketika bumi hancur ditabrak meteor, atau ketika bumi ditabrak asteroid. Kepunahan juga adalah kiamat.

Mari kita membuka diri melihat dan merasakan bahwa bumi kita ini memanglah sudah berada pada fase kepunahan. Dengan kata lain, kiamat sudah mendekat. Dan kita juga termasuk yang mempercepat kiamat itu datang. Banyak fakta nyata yang mengindikasikan, suka atau tidak, kalau kita tidak mau mengubah prilaku kita atas alam, maka resiko yang harus ditanggung sangat berat dan nyata.

Manusia ternyata memberi sumbangsih yang sangat besar terhadap pemanasan global dan kehancuran ekosistem. Seperti yang kita tahu, pepohonan berperan mengurangi efek rumah kaca dan juga memproduksi oksigen. Tapi kenyataannya saat ini, setiap detik kita (manusia) memotong habis satu setengah hektar rimba belantara yang bumi ini miliki. Katau trend-nya tidak menurun, maka diprediksi dalam 40 tahun seluruh hutan yang kita miliki akan musnah. Bumi kita menjadi botak. Dalam beberapa tahun ke depan dampak semakin berkurangnya ‘hutan perawan’ yang kita miliki akan semakin terasa.

Tanah dan bumi kita sementara menderita. Ada kawan yang baru pulang dari Israel mengatakan bahwa, “Bagaimana mungkin Israel yang gersang begitu pernah disebutkan sebagai tanah yang subur, berkelimpahan susu dan madu?” Memang itulah yang terjadi. Tanah Palestina dulu pastilah subur dan hijau. Tetapi sekarang jumlah tanah yang subur semakin berkurang. Yang dulunya mungkin hutan lebat, sekarang tinggallah gurun pasir. Gurun Sahara itu, setiap tahun batasnya bergeser, bertambah sekitar 1 setengah meter.

Kerusakan demi kerusakan alam juga semakin terjadi akibat kecerobohan dan kerakusan manusia. Tidak bisa dipungkiri, kepunahan semakin dipercepat dengan ulah manusia itu sendiri. Setiap negara seakan berlomba menunjukkan “kehebatan” mereka membabat habis hutan-hutan lebat yang dimiliki mereka. Dalam catatan Guinness Book of World Record maka Indonesia tercatat sebagai perusak hutan tercepat di dunia, yaitu lima lapangan sepakbola per menit.

Batubara yang digali dalam setahun adalah endapan alami selama 400.000 tahun. Kalau demikian, tidak usah kita kemudian bertanya kenapa ya bumi kita semakin tandus dan gersang? Minyak bumi, hasil alam, hasil tambang yang kita miliki bukanlah sesuatu yang unlimited. Tapi semua itu terbatas dan ada batasnya. Kalau kita tidak mampu mengolahnya dengan bijak, kepada siapa lagi kita harus berharap?

Dalam buku Dunia di Ambang Kepunahan, Antony Milne menulis, “Sejarah menunjukkan bahwa awal menurunnya peradaban adalah karena gangguan iklim. Bangsa-bangsa seluruhnya terjepit oleh gerakan penekan udara dingin dari utara dan perluasan gurun pasir ke selatan, atau jika mereka tinggal di pantai mereka harus melarikan diri dari gelombang pasang yang terus bergerak cepat. Generasi sekarang menghadapi ancaman yang sama.” Manusia ditempatkan di bumi untuk memelihara bumi. Tetapi kalau manusia merusak dan mencemarkan bumi, maka bumi akan menjadi tandus lalu manusia sendiri akan terkena akibatnya. Kelangsungan hidup terancam punah. Kiamat.

Sekarang mari kita bicara soal air. Persedian air besih kita semakin berkurang. Kita begitu banyak memboroskan air bersih, sementara di lain tempat air adalah barang langka. Siapa diantara kita yang bisa hidup tanpa air? Tidak ada! Tiap hari tubuh kita butuh beberapa liter air. Otak kita 85% terdiri dari air dan tubuh kita 70% terdiri dari air. Nah, apakah bumi kita memiliki cukup air? Memang permukaan bumi terdiri dari 70% air. Tetapi dari jumlah air yang ada di bumi hanya 1% yang bisa diminum, 2% berbentuk es di kutub dan sisanya yaitu 97% adalah air asin di laut.

Sumber air minun kita hanyalah sungai, danau dan aquifer yaitu lapisan batu karang atau pasir di bawah tanah yang menahan air. Sangatlah terbatas. Di samping itu, proses canggih yang mengolah air sungai, danau dan aquifer menjadi bening dan bersih belum menjamin bahwa air itu sehat untuk tubuh. Air jernih yang tidak berbau bisa saja mengandung pencemaran. Karenanya, bodoh sendiri jika kita membuang sampah atau limbah secara sembarangan.

Belum lagi ketidak bertanggungjawaban kita atas alam dengan membuang sampah sembarangan. Sepertinya sulit bagi kita untuk lepas dari tumpukan sampah yang kita hasilkan setiap harinya. Sebagian dari sampah-sampah itu sudah ada di laut lepas sana. Terpendam di dasar laut, menjadi warisan anak cucu kita. Ada laporan yang mengatakan bahwa di dasar laut Samudera Pasifik sementara bertumbuh dan semakin meninggi gunung-gunung plastik sampah yang kita hasilkan. Yang manusia (katanya makhluk termulia ciptaan Tuhan) hasilkan.

[caption id="attachment_134420" align="aligncenter" width="628" caption="Sampah menumpuk di laut Pasifik tentunya harus menjadi pekerjaan rumah manusia bumi untuk menanggulanginya. (Pic:Beritaunik.info.com)"][/caption]

Seorang oceanographer Curtis Ebbesmeyer mengatakan bahwa penelitiannya telah membuktikan bahwa koleksi plastik di Samudera Pasifik adalah sudah sebesar satu benua! Ia menyebutnya sebagai “The Great Pacific Garbage Patch.” Sampah plastik di laut tersebut menjadi pengancam yang berbahaya bagi semua biota laut, bahkan ada hewan laut yang memakannya, dan tentu saja menghancurkan ekosistem bawah laut. Mengerikan dan memiriskan. Great Pacific Garbage Patch, atau yang biasa disebut sebagai Vortex Sampah Pasifik, ternyata merupakan kumpulan sampah laut di tengah Samudera Pasifik Utara. Kubangan sampah laut ini dipenuhi oleh konsentrasi bahan beracun yang sangat tinggi dari plastik, kimia lumpur, dan sampah lainnya yang telah terperangkap oleh arus Pasifik Utara. Sebagian besar isinya terendap di bawah permukaan laut. Tempat ini tentulah tidak akan menjadi pilihan tempat manusia normal berkeinginan untuk mengunjunginya untuk berwisata.

[caption id="attachment_134430" align="alignleft" width="300" caption="Singa Laut yang terjerat sampah plastik. (Stockphoto)"][/caption] Contoh yang lain adalah seperti lumba-lumba dan singa laut yang kena dampaknya. Lumba-lumba banyak yang terjerat tali plastik atau tidak sengaja menelan botol plastik. Tentu ujung-ujungnya mereka akan mati.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Harry Burton dan Cecilia Eriksson, di perairan pulau Macquarie, Australia, banyak singa laut yang sakit karena menelan patahan atau serpihan plastik. Serpihan plastik tersebut masuk ke dalam perut dan membuat luka yang cukup serius.

Ada beberapa nelayan di sekitar teluk Amurang Minahasa Selatan yang sempat menemukan sampah plastik di dalam perut ikan yang mereka tangkap. Laut kita kini ibarat sudah jatuh ditimpa tangga pula, laut yang sudah dicemari berbagai sampah plastik yang dihasilkan manusia, masih lagi ditambah limbah-limbah cair dari pabrik dan entah berapa juta gallon minyak mentah yang ditumpahkan kapal-kapal tanker setiap tahunnya.

Tanaman dan binatang juga tak luput dari keserakahan dan kerakusan kita. Sekarang ini, rata-rata ada 20 spesies atau jenis makhluk hidup yang musnah setiap detik. Ya, 20 jenis setiap detik.

Efek rumah kaca hasil tangan-tangan manusia lewat teknologi yang tidak pedulian dan melewati ambang batas semakin memperparah bolongnya atau rusaknya lapisan ozon, yang seharusnya menjadi penyaring bumi kita dari sinar matahari langsung. Sinar matahari langsung sangat membahayakan kulit dan kehidupan kita. Kalau ember bocor bisa kita tambal dengan mudahnya, lha kalau ozon yang bolong, gimana nambalnya? Untunglah sekarang sudah semakin banyak usaha-usaha yang bertema dan berjiwa “Go Green.

[caption id="attachment_134421" align="alignright" width="300" caption="Hutan Gundul (Go Green.com)"][/caption]

Dosa manusia modern yang sangat besar adalah karena manusia tidak punya rasa hormat lagi terhadap alam. Berbeda dengan para nenek moyang kita dulu. Beberapa suku Indian di Amerika Selatan, misalnya suku Maya dan Inca mempunyai kebiasaan, yaitu sebelum mereka memetik sayur atau menebang pohon, mereka berdoa dulu. Apa isi doa primitif mereka? Mereka meminta maaf, karena mereka terpaksa harus melukai atau menyakiti alam. Mereka menaruh hormat dan penghargaan atas alam. Kita? Kadang-kadang hanya karena iseng, ranting pohon kita patahin, sambil jalan kita potes bunga yang ada di pinggir jalan. Tidak ada lagi rasa hormat pada alam.

Bumi ini sudah tua. Teramat tua bahkan untuk menampung segala keinginan manusia yang sangat tidak terbatas itu. Manusia memang semakin padat memenuhi bumi yang semakin uzur, di sisi yang lain alam juga ternyata punya caranya sendiri pada saat ia ingin menyeimbangkan kehidupan sekitarnya. Kita harusnya belajar untuk menjaga keseimbangan itu. Alam begitu arif menyeimbangkan dirinya, tapi kalau kita manusia yang mendiami bumi ini kurang arif, apa jadinya?

Bacalah penggalan puisi ini:

Jangan biarkan anak cucu generasi penerus

Mewarisi keadaan bumi yang semakin kelam

Suara membelah langit

Seruan dari kedalaman kabut

Suara dari ranah bumi

Nyanyian belalang

Seruan dari hijau daun

Terhampar bumi dengan segala keindahannya.

(Sumber puisi: Lagu Tradisional Suku Indian 'Navajo'. Sebuah lagu untuk menyambut suara bumi.)

Kalau demikian, apakah kita akan semakin cepat menuai kepunahan dan kiamat? Bisa jadi! Kalau kita tidak bisa menjaga bumi ini sebaik mungkin, percepatan hancur dan punahnya bumi ini jelas semakin nyata. Bahan bacaan lainnya: Penduduk Makin Padat.

Michael Sendow.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun