Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah Tuhan Perlu Dibela?

27 Juni 2011   01:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:09 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_116473" align="alignright" width="300" caption="NO SECRET: Perdamaian Dunia. From WorldPeace off.site."][/caption] Pernah nonton sinetron Putri Yang Ditukar? Sinetron ini dan beberapa sinetron lainnya menyuguhkan dua sisi kental makna. Sisi yang pertama adalah penonjolan sisi religious dan sisi yang kedua adalah stereotype massa yang gampang dihasut. Ada suatu adegan di PYD yang memperlihatkan seorang wanita bernama Malena dan Pak Wisnu memfitnah Om Prabu Wijaya di depan pemimpin desa. Lalu si pemimpin desa percaya begitu saja dan segera menghasut warga. Akhirnya warga berbondong-bondong ke rumah Prabu Wijaya. Luar biasa!

Anda lihat dimana kejanggalannya? Mana boleh ada pimpinan desa yang langsung menerima begitu saja laporan dua orang asing, tanpa re-check kebenarannya yang akhirnya kemudian mengarah ke amuk massa. Istilah filosofisnya: Mereka memutlakkan yang nisbi dan menisbikan yang mutlak. Bukankah itulah gambaran kehidupan beragama yang sarat konflik? Banyaknya pertikaian agama karena masing-masing pihak belum mampu menahan diri. Tidak bisa menerima perbedaan. Mudah dihasut dan gampang terpancing.

Bukankah isyu-isyu seperti ini juga kerap menjadi fakta nyata dalam kehidupan beragama kita beberapa tahun terakhir ini? Karena cerita satu dua orang yang tak jelas kebenarannya bisa menimbulkan gejolak yang berujung pada hasut-menghasut dan pertikaian warga.Pertikaian antar umat beragama dan bahkan antar umat seagama.

Harusnya semakin kadar keimanan kita kuat semakin kita memahami perbedaan. Bahwa berbeda itu bukan kutukan. Bahwa berbeda itu bukan perlu dipersoalkan dan diperbantahkan. Berbeda itu adalah kekayaan yang dimiliki bangsa ini. Apa pun agama kita, seharusnya cermin kemanusiaan semakin menampak dalam prilaku kita. Dalam hidup kita. Suatu bangsa akan hancur kalau tidak bisa dan tidak biasa menerima perbendaan. Ibarat petani jagung, maunya yang ada disekitarnya harus tanam jagung semua, tidak boleh ada tomat, cabe, dan bawang. Dalam hal keagamaan dan keimanan, keseragaman adalah kemustahilan. Jangan menyeragamkan apa yang memang tidak seragam. Tapi belajarlah menghargai apa yang berbeda itu.

Ada satu cerita tentang seseorang yang beragama Z yang dirampok dan siksa oleh sekelompok pemuda. Orang ini luka parah dan hampir mati. Lalu lewatlah seorang pemuka agama A yang sangat tersohor di kampung itu, penginjil hebat, memiliki umat yang sangat besar,  tapi ia hanya menengok orang yang terkapar itu kemudian berlalu. Beberapa menit kemudian lewatlah seorang pemuka agama B yang begitu termasyur, alim ulama paling digandrungi, ia juga hanya melihat sebentar orang yang terkapar itu sembari berkata “sungguh kasihan orang ini. Insya Allah ada yang menolongnya nanti,” kemudian berjalan menjauh. Dan lewatlah seorang yang dianggap kafir karena belum mengatut agama A atau B tadi, ia lalu menghampiri dan memapah orang yang sekarat itu, lalu membawanya ke rumah sakit. Semua biaya pengobatan ditanggungnya. Menurut Anda siapakah sesungguhnya “sesama manusia” bagi orang yang sekarat tadi? Tindakan siapakah yang mulia dan layak ditiru?

Saya trenyuh melihat bangsa yang bangkit melawan bangsa karena alasan membela agama dan bahkan diperuncing dengan membela Tuhan. Kita membenarkan pembunuhan dengan alasan membela Tuhan. Kita membenarkan perusakan dengan alasan membela Tuhan. Pertanyaannya, apakah Tuhan memang perlu dibela? DIA maha kuasa, maha mulia, maha hebat dan maha segala-galanya. Masihkah DIA perlu dibela manusia? Lalu atas dasar apa manusia membela Tuhan, ketika justru tindakan membunuh manusia lain, merusak hidup manusia lain yang notabene adalah juga ciptaan Tuhan yang lebih sering digunakan? Rasa-rasanya itu bukan membela Tuhan, tapi membela ego masing-masing dan kepentingan masing-masing, hal mana justru dibenci Tuhan. Bukankah tidak ada satu agamapun yang menghalalkan membunuh sesama manusia dan mengharamkan menolong sesamanya yang benar-benar butuh pertolongan (dalam arti positif)?

Memang saat ini agama-agama sedang bangkit dan bergairah kembali. Ada kehausan dan kelaparan spiritual yang luar biasa. Kalau dulu banyak ahli meramalkan bahwa agama akan mati, tidak tahan menghadapi gelombang modernisme dan sekularisme, bahkan ada seorang teolog yang sudah memperoklamirkan Teologi Allah yang Mati (The Death of God Theology), ternyata tidak!

Mungkin ada saat-saat tertentu agama cuma tidur seperti kepompong. Dari luar kelihatan kering, tidak bergerak, tidak berdaya. Tetapi dari balik kepompong itu keluar kupu-kupu yang lincah, indah dan manis. Agama-agama sekarang bagaikan kupu-kupu. Itu nilai positifnya.

Tetapi ada banyak kasus dimana kebangkitan kembali agama-agama itu telah membangkitkan fanatisme keagamaan yang berlebihan dan cenderung brutal. Lihatlah bagaimana agama bisa dipakai oleh Iblis. Itu sebabnya, atas nama agama bom diledakkan di London, di Amerika, di Colombo, di Pakistan, di Afghanistan di Indonesia. Atas nama agama, orang dikejar-kejar, dikutuk, difitnah, dipenjarakan. Atas nama agama Gereja dan Mesjid dilempar, dirusak dan dibakar. Agama, tanpa sadar telah menjadi kekuatan yang demonis, kekuatan yang dapat digerakkan oleh Iblis.

Agama memang penting. Sangat penting. Tetapi yang harus kita pikirkan bersama bahwa betapapun pentingnya agama itu, ia cuma alat bukan tujuan. Jadikanlah alat tetap sebagai alat, dan tujuan sebagai tujuan. Agama untuk manusia bukan manusia untuk agama! Fanatisme agama yang berlebihan menjadikan kita memasuki “daerah berbahaya”. Apa itu? Ketika kita sudah lebih mementingkan agama daripada sesama kita. Ketika demi hukum dan peraturan agama, kita menutup hati dan menutup mata bagi orang lain. Orang lain kita lihat sebagai musuh, hanya karena agamanya berbeda.

Kebangkitan agama baik, tetapi jangan lalu kita menjadi ekstrim. Membunuh, mengerahkan massa untuk membela Tuhan? Tuhan kok dibela. Tuhan tidak memerlukan pembelaan kita! Dia Maha-segala-galanya. Apalagi Tuhan mau dibela dengan cara membenci orang yang berlainan keyakinan dengan kita? Sikap ini jelas menghujat Tuhan dan bukan membelaNya.

Lihatlah betapa tololnya Osama Bin Laden dan kawan-kawannya itu, apa yang mau dibela mereka ketika tindakan mereka hanya membunuh dan memusnahkan jiwa manusia? Sama tololnya dengan orang-orang yang membunuh perempuan Muslim dan anak-anak tak berdosa pada kasus Serbia beberapa tahun yang lalu. Atau mereka yang semena-mena menghabisi anak-anak dan perempuan pada setiap peperangan yang terjadi di Timur Tengah sana. Atau sama bodohnya dengan aksi seorang pendeta di Florida yang dengan hebatnya berteriak-teriak hendak membakar Alquran hanya karena ia sakit hati dengan pembangunan Mesjid yang akan dilaksanakan di sekitar ground zero New York City. Padahal ia tidak tahu sama sekali duduk persoalannya, ia tinggal di Florida dan hanya menonton lewat berita TV. Tindakan yang justru dapat menjadi percikan api yang berbahaya.

Stereotype masyarakat kita yang mudah dihasut harus benar-benar diubah. Caranya dengan menunjukkan bahwa kita adalah masyarakat beragama tapi juga beradab dan berprikemanusiaan. Kalau kita punya pemahaman yang benar tentang agama kita masing-masing, sangat pasti kita tidak akan mudah dihasut oleh siapapun dan dalam bentuk apapun.

Istilah lain dari terlalu fanatik terhadap agama yang dianutnya disebut sebagai chauvinisme religius, artinya cinta buta terhadap agama. Istilah ini diambil dari nama seorang prajurit Prancis, yaitu Nicolas Chauvin yang taat secara membabi buta pada perintah Napoleon. Sejak itu orang yang cinta buta terhadap negara disebut chauvinis. Demikian juga yang fanatik dan ekstrim dalam agama disebut chauvinis religius. Tapi ada sih fanatik yang baik. Apa sih fanatisme yang baik itu? Apa pula fanatisme yang buruk itu? Mungkin kurang lebihnya adalah seperti ini:

Fanatisme yang baik adalah ketika orang bersedia untuk mati demi keyakinan agamanya. Sedangkan fanatisme yang buruk adalah ketika orang bersedia untuk membunuh demi keyakinan agamanya.

Kita lihat bedanya kan? Kalau kita bersedia mati ketika mempertahankan keyakinan iman kita itu luar biasa. Tapi kalau kita bersedia disuruh-suruh untuk membunuh dengan alasan memperjuangkan keyakinan iman kita, itu juga luar biasa. Luar biasa bodohnya!

“Alangkah baiknya dan alangkah indahnya apabila saudara diam bersama dengan rukun Kalimat syair lagu itu sangat indah untuk dinyanyikan dan dilakonkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana caranya? Tidak susah. Tidak banyak rumusannya. Perlakukan sesamamu manusia sebagai manusia. Homo Homini Homo. Lebih gampangnya pahamilah kata-kata ini: Saudara saya yang Muslim bilang habluminallah dan habluminannas."

Dan saudara saya yang Kristiani bilang: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu DAN kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

[caption id="attachment_116472" align="aligncenter" width="691" caption="Berbeda dalam kerukunan dan rukun dalam perbedaan. (Dok.Pribadi)"][/caption]

Ketika saya mengunjungi paman saya di Cirebon ada pengalaman luar biasa yang membuat saya terharu dan salut. Di rumah paman itulah saya melihat “Indonesia Mini”. Di rumah itu berbaur erat keluarga saya yang Muslim dan keluarga saya yang Kristiani. Ketika keluarga saya yang beragama Islam mengadakan shallat di ruang tamu, serempak di ruang makan, keluarga saya yang beragama Kristen mengadakan ibadah. Tidak ada percikan api. Tidak ada gorok-menggorok. Tidak ada hina-menghina. Saling menghargai dan memahami ternyata merupakan kemestian. Menghargai dan memahami bahwa berbeda itu indah. Perbedaan bukan untuk dimusuhi tapi untuk dinikmati dan disyukuri.

Note: Ini bukan tulisan tentang "AGAMA" tapi tentang "KERUKUNAN". Mudah-mudahan di rumah sehat ini tidak ada yang berjuang "membela Tuhan" tapi dengan cara menista atau menyerang yang berbeda dengan dirinya. Rasa-rasanya memang tidak ada yang demikian di sini. Semua terlihat "mesra-mesra" saja. Memang dalam seminggu ini ada 3 hal yang hangat sekali di rumah ini, yang dikenal dengan 'triple A': Agama, Anti Ketombe dan Amerika.

Baca Juga:

Pentingkah Gereja dan Mesjid Itu?

Michael Sendow

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun