“Kamu kok, nggak sarapan nak”, teguran khas ibuku terdengar begitu jelas di balik dinding kamarku ini. Seperti biasanya, dan selalu demikian, setiap pagi kalau aku terlambat keluar kamar, ibuku akan memanggilku dan mengingatkanku untuk tidak lupa sarapan. Aku sangat mengerti betapa ia menyayangiku. Betapa ia perhatian denganku. Aku memang termasuk yang paling disayang dan paling diharap. Apalagi semenjak kakak dan adikku menikah.
“Ia bu, tanggung nih baru masuk halaman ke tiga…genapin lima halaman dulu ya bu” ujarku sedikit menawar.
memang salah satu kegemaranku adalah membaca. Setiap bangun pagi ku awali dengan sujud syukur bahwa aku masih diberikan kesempatan menghirup segarnya hawa pagi, dan itu berarti aku masih diijinkan untuk beraktifitas.
Kegiatan sesudahnya, tak dipungkiri tentu saja membaca. Karena bagiku dengan membaca, akan banyak jendela yang masih tertutup bisa kubuka. Dengan membaca banyak yang kelak dapat kubagikan untuk istri dan anakku.
Sambil tidur-tiduran, diiringi denting instrumen piano klasik dari laptopku, aku melanjutkan keingintahuanku dengan membaca buku tentang “The Worst Dishonest Politician”. Buku yang seharusnya serius ini terbaca sangat lucu olehku. Bagaimana tidak, dalam suatu kisah, diceritakan disitu bahwa di Negara Liberia tahun 1928 telah terjadi suatu pemilihan presiden yang unik.
Dikisahkan bahwa Charles King mengalahkan ‘penantang’nya yaitu Thomas Faulkner dengan sangat telak. Ia mengalahkan Thomas dengan selisih 600.000 suara. Masalahnya pada saat itu Liberia hanya memiliki 15.000 registered voters. Lha, kok bisa segitunya sih ?Toh, akhirnya Charles tetap memenangi pemilihan tersebut, ia kemudian dilantik sebagai Presiden Liberia. Lucu. Unik.
Buku itu memang menarik dibaca. Tapi belum saja sampai tiga halaman bacaanku usai, di luar pintu depan terdengar ada kegaduhan. Kegaduhan itu tidak seperti biasanya. Bukan karena suara gonggongan anjing kurus kerempeng peliharaanku itu, bukan pula karena para tukang yang lagi kerja memperbaiki rumah tetangga sebelah. Bukan juga karena tukang bakso yang lewat, masih kepagian buat tukang bakso jualan disini.
Perasaanku memang lagi tidak nyaman, dan biasanya, kalau perasaan ketidaknyamaan ini mencuat, pasti ada sesuatu yang buruk bakalan terjadi. Aku teramat sangat mempercayai perasaanku dalam situasi seperti ini.
“Kamu pikir kamu siapa?!” sebuah suara dengan nada tinggi itu tertangkap telingaku jelas. “Kamu jangan pernah ganggu anak saya”. Suara itu tambah keras. Dan setelah kalimat itu masih begitu banyak tumpahan kemarahan ibuku yang dialamatkan ke seseorang di ruang tamu sana. Sepertinya ada yang bertamu pagi-pagi.
Aku bergegas memeriksa ke ruang depan, siapa sih yang dibentakin ibundaku tersayang itu ? Aku kaget. Benar-benar kaget. Ternyata yang lagi dibentakin ibuku adalah orang yang sebentar lagi bakalan jadi istriku.
“Ibu ada apa sih marah-marah kayak gitu?” sergahku cepat sebelum semuanya berlarut dan tambah kacau. Kulihat dengan kerlingan mataku tetes demi tetes air mata perempuan yang kusayangi itu meleleh jatuh, ke pipinya, lalu ke kemeja putih yang ia pakai saat itu. Wanita yang bakal menjadi pedampingku di kala suka maupun duka. Yang bakal menemani aku kapan saja kuperlukan. Setidak-tidaknya itu harapan dan impianku.
Tapi perempuan yang teramat sangat kusayangi itu terlihat sangat terpukul dan luka saat ini. Semburat kekecewaan yang amat sangat terlihat jelas di raut wajahnya. Sakit hati yang sangat dalam. Rasa-rasanya ingin sekali aku memeluknya, membelainya sambil menenanginya. Tapi sebelum aku bertindak apapun, ia telah pergi. “Tunggu…” teriakku. Tapi teriakkan yang paling keras, yang pernah terlontar dari mulutku tak sanggup menahan perginya.
Aku hanya melihat punggungnya, ia berlari dan berlalu, naik mobil dan pppssshhhh… gone! Yah, She’s gone. Persis lagu kesukaanku yang dibawakan dengan apik, dengan begitu piawai oleh Steal Heart. She is gone! Perih memang. Karena aku tahu pasti, setelah mendapat perlakuan tak baik. Setelah mendengar “peluru kendali” yang dilontarkan ibuku secara bertubi-tubi itu, manalah mungkin ia memaafkanku.
“Ibu apa-apan sih…?” Aku mengulangi pertanyaanku dengan nada tak sabar. Ibu menjawab “Kamu kan selama ini tidak tau apa yang sudah PEREMPUAN ITU ! lakukan”. Ibuku mengucapkan “Perempuan Itu” dengan nada yang sangat marah. Sangat benci dan tidak main-main. Aku tahu persis kapan ibuku marah, dan kapan ia marah besar. Dan sepertinya sangat jelas bagiku kemarahannya seperti apa saat ini.
“Apapun yang dia lakukan di masa lalunya, aku tidak peduli bu!” Aku tidak berhenti. Ku lanjutkan celotehanku “Ketika aku memilih dia 16 tahun yang lalu, aku sudah siap dengan segala resiko, IBU!”
Aku sudah menduga, ibuku ngotot dengan pendiriannya. Tidak mengapa pikirku, toh katanya dia punya alasan tertentu kenapa ia membenci calon isteriku. Itu hak dia. Aku tidak mengerti apakah ibu paham bahwa cinta itu adalah anugerah. Kalau aku memiliki cinta, berarti aku lagi diberikan anugerah oleh DIA sang pemberi.
Tapi aku Cuma mau bilang ke ibuku seperti ini : Kalau ibu punya alasan tertentu untuk membenci dia. Aku juga punya alasan tertentu kenapa aku mencintai dia!
Aku hanya berharap kelak, suatu saat nanti, itupun kalau kesempatan itu masih ada, ibu mau belajar mengampuni dan melupakan. Mengampuni dan melupakan kesalahan orang pada kita! Kalau memang orang yang ibu sebut “Perempuan Itu” pernah membuat kesalahan, ampunilah dia. Bukankah pengampunan yang diberikan adalah juga suatu bentuk amal, budi baik, kasih bagi sesama?. Kan ibu juga yang mengajarkan semuanya itu padaku…
Dan satu lagi bu, jangan sebut “PEREMPUAN ITU” dengan nada dan amarah luar biasa begitu. Ya, aku mohon bu karena perempuan itu memang calon isteriku.
Aku sayang ibu. Tulus. Ibu mesti percaya itu. Ibu melahirkan aku dengan darah dan air mata, ibu mengajarkan aku banyak hal yang baik, tentang kebaikan dan kebajikan. Aku juga ngerti kalau, seperti kata ibu, semua ini ibu lakukan demi masa depanku. Tapi ibu juga mesti ingat benar bahwa masa depanku ada ditanganku sendiri. Kalaupun ibu meragukannya, hanya Tuhan yang tahu pasti betapa aku menyayangi ibu, dan betapa aku menyayangi perempuan itu. Perempuan yang ibu usir pergi itu. Perempuan yang dengan kasarnya ibu bentak.
Ibu, engkau adalah ibundaku, orang yang aku hormati dan kasihi dengan sungguh. Orang yang ibu tidak sukai itu juga adalah calon istriku. Orang yang akan aku nikahi, to be with and to live with. Jadi pintaku dengan amat sangat, jangan biarkan aku harus memilih…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H