Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Guru Pahlawan yang Kurang Diperhatikan?

14 Maret 2014   01:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:58 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Edison adalah sebuah kota kecil di salah satu Negara bagian di Amerika Serikat, New Jersey. Namanya diambil dari seorang penemu bernama Thomas Alfa Edison. Di kota ini terdapat sebuah museum tua berisi beberapa hasil karya Edison, termasuk ribuan percobaan penemuannya yang gagal. Ada lampu yang meledak terbakar. Ada kertas berisi catatan-catatannya yang terbakar. Ada semacam teropong kecil, entah apa itu yang putus di bagian tengahnya. Dan masih banyak lainnya.

Di kota ini saya tinggal selama bertahun-tahun, sebelum pindah ke kota yang lebih besar dan lebih megah. Edison adalah sebuah kota kecil namun sangat berpengaruh di New Jersey. Makanan kesukaan saya banyak dijumpai di kota ini. Bahkan “nasi goreng kampung” dan “tinutuan” pun ada di sini. Di kota ini pula saya untuk yang pertama kalinya menyaksikan sekumpulan guru mengadakan demontsrasi. Inti dari demonstrasi tersebut adalah mereka menuntut hak-hak guru lebih diperhatikan lagi. Mereka juga rupa-rupanya menolak subsidi pendidikan dikurangi.

Saya kemudian jadi ingat. Saya pernah membaca sebuah catatan tentang pemogokan guru secara besar-besaran yang terjadi pada tahun 1975, di New York. Salah satu negara bagian yang bertetangga dekat dengan New Jersey. Ibu kota dunia kata sebagian orang. Karena itu, apapun yang terjadi di sini pasti akan jadi sorotan dan perhatian publik.

Menyaksikan dan mendengarkan guru-guru itu berorasi, melempar pendapat namun tanpa berpolemik, saya kemudian berpendapat, bahwa peran guru memang amat vital di sebuah negara. Dan rasa-rasanya, tidak ada di antara kita yang dapat menisbikan pengaruh guru dalam setiap sendi kehidupan sebuah negara, semaju apapun negara tersebut. Amerika pun tidak akan mungkin memandang sebelah mata profesi guru. Di manapun guru mestinya menjadi bak pahlawan. Merekalah yang pertama memerdekakan sebuah daerah bebas dari buta huruf dan buta ilmu.

Masih ada lagi catatan pemogokan guru yang pernah dituliskan oleh kawan saya Sonny. M. Ia adalah seorang doktor ilmu ekonomi yang menamatkan sekolahnya di Jerman. Ia menuliskan tentang pengalamannya melihat langsung pemogokan guru yang terjadi selama satu bulan penuh, di sebuah kota kecil di Jerman, Goderich.

Kita berdua pernah melihat demonstrasi dan guru yang mogok kerja. Bedanya, ia menyaksikan hal tersebut di Goderich, dan saya di Edison.


Ia menuliskan demikian, “Siang hari, guru-guru itu membuka rumah mereka menjadi sekolah alternatif. Hanya mata pelajaran utama yang diajarkan. Pada malam hari, para guru datang ke gereja atau ke balai-balai pertemuan umum. Bergabung bersama warga. Di sana orang berdiskusi dan berdebat. Ramai sekali. Ada deliberasi, ada orasi, ada agitasi. Ada macam-macam. Kadang-kadang juga ada penganan enak. Kecintaan saya pada cokelat hangat, hot chocolate, bermula dari sini....”

Di Indonesia, guru juga tidak sedikit yang pernah berdemonstrasi, mereka mengangkat spanduk dan pena. Untunglah bukan pedang dan samurai yang diangkat serta diancung-ancungkan. Ada di antara mereka yang mungkin saja ikut pemogokan, walau tidak besar-besaran. Namun apakah perhatian terhadap apa yang dituntut setiap guru ini akan sama seperti yang terjadi di Amerika maupun di Jerman sana? Entahlah.

Baru-baru ini ada sekumpulan guru honorer yang bahkan mengancam akan melakukan demo telanjang. aksi demo itu tentu akan menjadi salah satu tamparan bagi pemerintah karena tidak konsisten menjalankan amanat PP 56 Tahun 2012 tentang pengangkatan honorer tertinggal sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).

"Kami tidak malu lagi untuk telanjang. Buat apa malu wong pemerintah saja gak malu kok melihat tenaga pendidiknya tidak sejahtera," demikianlah kata Soebandi, Ketum PHSNI kepada JPNN, Bulan Februari yang lalu.

Soebandi yang sudah menjadi guru honorer sejak 1996 itu mencontohkan kasus di Jogjakarta. Bahwa ternyata di Kota Pelajar itu ada begitu banyak guru honorer yang berusia kritis malah tidak lulus. Padahal pemerintah menyatakan bahwa honorer dengan masa pengabdian lama dan berusia kritis akan mendapatkan perhatian lebih.

Nurani kita mestinya turut tergetar. Apakah kita tega melihat guru honorer dibayar dengan upah 50 ribu sampai 200 ribu rupiah per bulan? Apapun alasannya, guru adalah tetap guru. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa tersebut. Pertanyaannya sederhana, apakah pemerintah mau menuntaskan dan mendengar keluh kesah para guru honorer ini atau tidak. Padahal sebentar lagi kita akan dipimpin Presiden baru. Mudah-mudahan Presiden baru punya persepsi bagus terhadap para guru ini.

Saya kembali terkenang masa-masa tinggal di Edison. Di sana, ada seorang lelaki yang sudah agak tua. Rambutnya sudah mulai memutih. Ia berkebangsaan Irlandia namun sudah naturalisasi menjadi warga Amerika. Dan dia adalah seorang guru yang ikut demonstrasi kala itu.

Kevin, begitulah nama yang diberikan orang tuanya. Tinggal di kompleks yang sama dengan saya. Hanya berbatas pagar terbuat dari kawat, dan beberapa pohon cemara kurus. Ia sering menjadi kawan diskusi saya yang mengasyikan. Dia jugalah yang sering menraktir saya makan ‘mie daging’ di restoran Vietnam ‘Pho Anh Dhao’. Mie daging kesukaan kami berdua tentunya.

Kevin bilang, “Our voice will always be heard by government…..no matter what…” Tentu dia berani bilang seperti itu karena yang mereka perjuangkan didengarkan pemerintah. Mereka tidak berteriak dan berorasi dengan sia-sia. Itu juga, diolehkarenakan pemerintah memang siap untuk mendengar.

Kita diciptakan memiliki dua telinga supaya mau dan mampu mendengar suara dari kiri dan kanan kita, namun hanya satu mulut untuk berucap. Supaya kita banyak mendengar dan sedikit saja bicara. Semoga keluh kesah para guru ini bisa didengarkan dengan telinga yang bijak milik para penguasa negeri. ---Michael Sendow---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun