Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[FKK] Jejak Kaki Raksasa dan Kisah Misterius di Tomohon

14 Juni 2014   01:58 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:50 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku dilahirkan di Tomohon, Minahasa. Disinilah pusarku ditanam. Itu kata orang tuaku, entah apakah pusarku benar-benar ditanam di tanah Tomohon, atau hanya dibuang di sungai sebelah rumah. Tapi hati kecilku selalu saja memancarkan keterikatan antara diriku, dan kampung kelahiranku itu. Kalau begitu, bisa jadi pusarku memang di tanam di Tomohon. Hingga, di suatu senja, entah apa yang mendorongku untuk membeli tiket pulang langsung dari Amerika. Seakan-akan ada daya tarik teramat kuat yang mengharuskan aku pulang. Entah apa itu.

Tujuan pertama dan utamaku adalah setibanya di Indonesia, langsung ke Manado dan segera ke kota Tomohon. Dan, di Tomohon inilah awal mula cerita misterius itu dimulai.

***

“Mike….sudah so sampe kote ngana di Manado kang, marijo torang cari makang di Tomohon itu toh ngana pe mau…….?” (Mike…..Kamukan ternyata sudah Manado yah, ayo kita cari makan di Tomohon, itukan yang kamu mau…..?), celoteh salah satu kawan karibku sehari setelah aku mendarat dengan mulusnya di Manado.

“Oke……so pasti itu. Memang itu kita pe tujuan utama….…,mo keliling Tomohon….…”, jawabku dengan antusiasme yang amat sangat besar. Tentu saja, setelah begitu lama meninggalkan kampung halamanku,

Tomohon adalah salah satu kota di Minahasa. Di tempat ini, pernah menjadi semacam tempat pembantaian semasa Jepang masih berkuasa, dan bertempur sangat hebat dengan bangsa Belanda kala itu. Ada beberapa bekas tempat penyiksaan yang masih dapat kita jumpai di sana. Bahkan, konon ada orang Jepang yang menyamar sebagai pedagang sayur, dan sempat membuka took kelontongan di Tomohon pada masa itu. Ia begitu baik hati menolong masyarakat Tomohon, dan menjual dagangan dengan harga murah supaya bisa terbeli oleh warga setempat.

Kota tempat aku dilahirkan ini sebetulnya juga sudah sangat terkenal sejak jaman dulu. Selain sebagai penghasil sayur dan bunga, ternyata Tomohon juga kaya dengan satwa endemik. Ada banyak tempat wisata yang dapat dijumpai di Tomohon. Ada gunung Lokon. Ada bukit doa. Ada kebun bunga yang luas. Ada tempat pembuatan rumah kayu tradisional yang sudah diekspor sampai ke Eropa. Ada danau tiga warna, danau Linow, dan masih banyak lagi. Tomohon tercatat dalam sebuah karya etnografis N. Graafland. Ia, yang kala itu, tepatnya pada pada tanggal 14 Januari 1864 sementara berada di atas kapal Queen Elisabeth, antara lain menuliskan tentang suatu negeri yang bernama Tomohon yang dikunjunginya pada sekitar tahun 1850. Jadi, pada abad ke-18 saja Tomohon sudah dikunjungi turis luar negeri.

Tujuan perjalanan saya dan kawan saya kali ini adalah mengelilingi Tomohon sepuas hati. Tentu tidak melewatkan untuk mampir di Pasar Tomohon yang sangat terkenal itu. Apapun dijual di situ. Ada daging tikus, babi hutan, kalong (kelelawar), ular, anjing, dan macam-macam. Kami sekaligus mencari makanan khas Minahasa untuk disantap tentunya. Apalagi ketika perut sudah keroncongan tak karuan, di tengah siang bolong seperti ini.

“Kamu mau cari makanan apa, Mike?” ujar karibku itu. Eh, ngomong-ngomong, sebelum lupa biarlah kuperkenalkan siapa karibku itu. Nama karibku itu Melky. Kawan lama yang selalu setia menemaniku setiap kali pulang kampung. Dia adalah salah satu kawan terbaik dan terpintar yang pernah kukenal. Bayangkan saja, hamper di setiap semester IPK-nya di atas 3.80 terus. Lulus dengan predikat Cum Laude di Universitas Samratulangi.

“Aku mau cari nasi kuning, tinorangsak, kue Panada, dan eis cukur (eis kacang brenebon)…” jawabku dengan nada meyakinkan.

“Gila, banyak sekali, man!” Melky menatapku kurang yakin. Padahal dari dulu dia tahu persis kalau makanku memang selalu banyak. Apalagi setelah belasan tahun tidak mencicipi penganan tradisional asli, selama di Amerika. Tentu harus dimaklumi, pokoknya aku harus dapatkan yang kumau.

Setelah berjalan kira-kira sepeminum teh (berapa jaraknya itu yah? He he he) maka sampailah kami di sebuah kedai (kantin) tradisional yang menjual apa yang aku cari. Setelah makanan dipesan, dan akhirnya tersaji secara cepat di depan kami, makanan itu langsung kulahap dengan cepat. Maklum, rasa lapar sudah membelengu sejak tadi. Lumayanlah, perut keroncongan berganti padat membulat.

Di kedai itu si ibu penjual makanan lantas menjelaskan kepada kami tentang fenomena-fenomena unik yang akhir-akhir ini sering terjadi di Tomohon, Misalnya tentang suara-suara aneh yang kadang muncul di malam hari. Kemudian ada juga binatang mirip burung gagak yang sering hinggap di atas rumah penduduk, dan mata burung tersebut berwarna sangat merah serta memiliki pandangan yang begitu tajam. Burung itu konon mirip juga burung hantu, namun bukan burung hantu. Mirip burung gagak, namun bukan burung gagak. Ada yang bilang justru mirip burung elang. Belum ada yang tahu itu burung jenis apa sesungguhnya. Kemudian ia juga bercerita tentang peristiwa ditemukannya kaki raksasa di Tomohon. Peristiwa yang masih tetap menjadi misteri yang tak terpecahkan hingga saat ini.

Aku dan Melky mendengarkan ibu itu bercerita dengan mata yang seakan tidak berkedip. Kami begitu penasaran untuk menyaksikan sendiri apa yang dituturkan ibu penjual itu. Ingin mencari tahu kebenaran seperti apa yang dapat kami temui di luar sana. Saya sebetulnya skeptis terhadap hal-hal berbau mistis seperti ini. Tapi penasaran juga ingin membuktikannya sendiri. Karenanya, dengan kesepakatan bersama maka kami berdua memutuskan akan tinggal selama beberapa hari di Tomohon, sebelum balik ke Manado. Jarak antara Manado dan Tomohon toh tidak begitu jauh, hanya berkisar 45 menitan saja.

Malam pertama dilalui dengan mulus. Artinya tidak ada apa-apa yang aneh. Namun malam kedua kami di Tomohon, apa yang dikatakan ibu itu nampaknya mulai terjadi. Kami melihat burung aneh yang dia ceritakan itu. Bahkan aku sempat bertatap-tatapan sangat lama dengan burung bermata merah menyala itu. Ada sedikit perasaan takut dan was-was memang. Setelah sekian menit, barulah burung itupun terbang menjauh dari penginapan kami, di sebuah penginapan agak pinggiran kota Tomohon.

“Melky, itu tadi burung yang menurut sebagian orang adalah penunggu hutan perawan di Tomohon…”, bisikku ke telinga Melky. Bisikanku itu ternyata membuyarkan lamunan Melky. Kudapati ia sementara melamun dengan tatapan kosong, mengarahkan pandangannya jauh seakan menembus ke kegelapan malam. “Kenapa kamu…,?” sambutku lagi.

“Ah, Mike aku pingin balik aja ke Manado…” Rupa-rupanya dia agak ketakutan dengan apa yang baru saja dilihatnya itu. “Ha ha ha…..begitu saja sudah ketakutan kamu. Itu burung biasa. Tenang saja…”, Aku coba menguatkan hatinya. “Tidak akan ada apa-apa. Percaya saja. Yang penting justru kita akan tambah wawasan dengan apapun yang kita dapati di sini. Kita akan menggali apa yang belum kita ketahui,” lanjutku yang hanya dijawab dengan senyum tertahan di wajahnya.

Keesokan harinya, berbekal masing-masing sebotol air mineral kami menyusuri jalan-jalan untuk sampai ke pusat kota. Rencananya kami akan segera menuju desa Kinilow, masih di Tomohon, tempat dimana katanya ada penampakan dan ditemukannya kaki berukuran raksasa, seperti cerita yang sudah beredar luas.

Jejak kaki tersebut awalnya ditemukan oleh sejumlah warga setempat secara tak sengaja di sebuah kompleks perkebunan Mo’mo di Kelurahan Kinilow I. Menurut warga sekitar yang kami jumpai, usia dari jejak telapak kaki tersebut katanya sudah berusia ratusan tahun. Panjang jejak kaki raksasa itu sekitar 74 cm. Pertanyaanya adalah, apakah memang ada raksasa yang pernah hidup di Tomohon ratusan tahun yang lalu? Nobody knows.

“ Desa Kinilow di Tomohon ini memang merupakan lokasi yang memiliki potensi kearkeologian sangat besar. Khususnya peninggalan-peninggalan dari zaman megalitik. Pada zaman itu ditandai dengan penggunaan batu untuk prosesi pemujaan atau penguburan. Seperti waruga atau batu dakon. Makanya juga jangan heran kalau di Minahasa itu banyak waruganya.” Melky tida-tiba bersuara menjelaskan. Rupanya ia banyak tahu tentang catatan sejarah Minahasa. Semenjak di bangku sekolah menengah Melky memang hebat dalam pelajaran sejarah. Baik itu sejarah dunia, maupun sejarah Indonesia. Dia pintar di semua mata pelajaran, namun Sejarah adalah salah satu yang paling ia sukai.

Melky kemudian menjelaskan tentang sebuah kepercayaan turun temurun di Minahasa dan juga di Tomohon, yaitu yang dikenal sebagai legenda Siouw Kurur. Ia adalah salah satu Dotu Minahasa yang menurut cerita memiliki badan sangat besar serta mempunyaii 9 lutut. Dia juga dipercaya sebagai salah satu penunggu di sekitar Gunung Lokon, di samping Opo Lokon.

“Mike, mungkin kamu nggak tahu, tapi Desa Kinilow ini adalah salah satu perkampungan paling tua di Tomohon, bahkan di Minahasa. Ini adalah perkampungan yang pertama di Tomohon. Dan lagi, di seputaran Tomohon sebetulnya masih ada hutan yang tergolong sebagai hutan perawan, serta sangat jarang dimasuki manusia,” Melky memberikan penjelesan bagaikan seorang Profesor Sejarah. Aku hanya manggut-manggut saja. Dalam hatiku, ini bisa dijadikan sebagai bahan tulisanku nanti bila balik lagi ke Amerika.

Siouw Kurur yang sempat disebut-sebut Melky itu, dibenarkan oleh penduduk setempat. Menurut beberapa warga yang sempat ditanyai, katanya bahwa si Siouw Kurur ini memiliki tinggi badan hingga enam sampai tujuh meter dan sering berdiam di hutan Gunung Mahawu. Banyak warga sekitar yang masih begitu percaya ‘opo-opo’ dan hal-hal mistis mengatakan bahwa kisah itu benar adanya. Bahkan sewaktu pertama kali mereka akan melakukan penggusuran di lokasi dimana ditemukannya jejak kaki raksasa itu, ada beberapa ‘tuntutan’ yang harus dilakukan. Misalnya saja begitu sampai di lokasi, mereka harus memasang dan meletakkan rokok. Katanya itu adalah sebagai symbol atau wujud penghormatan seraya meminta izin untuk melakukan pekerjaan. “Kalo nda bagitu, tu ekskavator mo rusak, depe gigi mo ancor,” (Kalau tidak buat begitu, ekskavator bakalan rusak, dan giginya akan hancur) kata salah seorang warga di situ.

***

Hari yang panjang dan melelahkan usai sudah. Kuajak Melky untuk segera meluncur pulang ke penginapan, dan beristirahat. Sampai di penginapan hari sudah gelap. Kita berdua makan malam sebentar, dan langsung ke kamar masing-masing untuk tidur. Dalam tidur nyenyakku itu aku sempat bermimpi. Dan dalam mimpi itu, terlihat jelas dan serasa begitu nyata bayangan seorang raksasa menatapku dengan matanya yang berwarna merah menyala. Di pundaknya bertengger seekor burung aneh, perpaduan antara burung hantu, burung gagak, dan burung elang. Suara burung itu lebih mirip seringai panjang dan tak henti. Aku mulai menggigil.

Tiba-tiba sosok raksasa itu mendakatiku. Langkahnya mulai dipercepat. Sekujur tubuhku kini dipenuhi keringat. Badan basah oleh keringat, padahal udara lumayan dingin. Bulu kuduk meremang. Tengkuk tiba-tiba menjadi begitu dingin. Dan…………………., secara mendadak ia melompat, berlari mendekatiku, dan menyeringai tepat di depan wajahku, serta berteiak amat keras, mengagetkan seluruh jiwa ragaku. Tulang-tulang tak bisa digerakkan lagi. Badanku lemas tak berdaya. Nafasku terengah-engah tak karuan. Adrenalin dalam darah bekerja lebih cepat dan memompa-mompa.

Aku tersentak, dan sontak terbangun. Melompat secara spontan dari tempat tidurku. Terbangun dari tidurku, dan dari mimpi burukku. Tapi seringai aneh dan teriakan itu masih tetap ada. Kugoyang-goyangkan kepalaku. Jangan-jangan aku masih bermimpi, demikian ujarku dalam hati. Perlahan dan samar-samar kulihat wajah di depanku itu. Ternyata kini yang Nampak bukanlah wajah raksasa, namun wajah menyebalkan karibku Melky yang sementara tertawa cengengesan karena berhasil mengangetkan dan membangunkan aku dari tidurku. Aku sadar, bahwa wajah itu benar-benar menyebalkan. Wajah raksasa itu, dan juga wajah karibku itu. Sama menyebalkan. “Uuuughhhhh…..!”

“Udah pagi, ayo buruan mandi dan kita akan langsung ke terminal bus…”, Melky ngoceh di depanku yang masih terdiam shock dengan mimpi burukku semalam. “Oke!”, jawabku singkat.

Tak selang berapa lama, kami pun sudah dalam perjalanan menuju Kota Manado. Sejenak kami terhibur oleh alunan musik khas Minahasa yang diputar dalam bis ber-AC itu. Lagu kolintang, musik bambu clarinet, dan irama poco-poco terdengar begitu semarak. Kulihat Melky menggerak-gerakan kelapa mengikuti irama musik yang terdengar keras, mengguncang ruang-ruang di hati setiap yang mendengarkannya.

Setibanya di rumah, kusempatkan diri untuk makan siang dan bercengkerama dengan keluarga dan saudara-saudaraku. Sebab besok rencananya aku akan terbang langsung ke Jakarta untuk menghadiri sebuah pertemuan bisnis.

Malam hari pun tiba. Waktu itu jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas. Aku masih sibuk di depan laptop menyiapkan bahan presentasi untuk acara besok hari. Dan mengisi waktu, aku juga masih sempatkan diri untuk menuliskan kisahku ini (Kisah yang sementara Anda baca saat ini).

Tiba-tiba, sayup-sayup kudengar ada suara teriakan keras di luar rumah. Ada juga lolongan anjing yang tak henti-hentinya. Entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak. Perlahan kubuka kaca jendela kamarku………….dan tiba-tiba, tanpa terduga, seekor burung aneh bermata merah menyala melompat masuk ke kamarku tanpa sanggup aku cegah. Setelah itu lampu padam, dan aku tak sadarkan diri……………………………(Bagaimana kisah selanjutnya? Dan seperti apakah wujud burung itu disaksikan dari dekat? Nantikan pada episode selanjutnya, yang belum tahu kapan akan terwujud) MS.

Pesan Moral: Kita mesti tetap harus menghargai adat istiadat di kampung halaman kita. Kita juga harus memelihara hubungan baik dengan kampung halaman kita, dan kampung kelahiran kita. Budaya dan kepercayaan apapun yang ada di sana, tidak boleh kita anggap remeh dan pandang sebelah mata, melainkan menghargainya secara bijaksana. Keterikatan antara kita dan tempat lahir kita sebaiknya tidak boleh putus. Sebab, apapun itu, sejarah sudah mencatat, orang-orang yang tidak menghargai tempat kelahirannya adalah orang-orang yang tidak sanggup menghargai keberadaan dirinya sendiri.)

(Sebagian kisah ini diangkat dari kisah nyata dan pengalaman pribadi penulis)

[caption id="attachment_328839" align="aligncenter" width="469" caption="{Jejak kaki raksasa yang ditemukan di desa Kinilow, Tomohon. Credit Photo: Harian Komentar}"][/caption]

[Ini adalah jejak kaki raksasa misterius yang ditemukan di Kinilow, Tomohon. Credit Photo: Harian Komentar]

Silahkan bergabung di fb Fiksiana Community

Untuk membaca karya peserta lain, silahkan menuju ke sini atau ke Fiksiana Community



#fiksitanahkelahiran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun