Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peraturan Pemerintah Tentang Konflik Sosial (VS Kesenjangan Sosial)

23 Februari 2015   23:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:38 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa waktu yang lalu Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2015 terkait aturan penanganan konflik sosial. Inti dari adanya PP ini adalah untuk melindungi dan memberikan rasa aman kepada masyarakat secara optimal dan menyeluruh. Sesuatu yang menurut saya amat bagus.

Untuk melihat secara rinci PP tersebut, Anda dapat mengunjungiwebsitenya Sekretariat Kabinet. Di sana Anda dapat meilhatnya secara lebih komprehensif isi PP itu. PP tersebut adalah merupakan peraturan pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Secara singkat PP tersebut mengatur ketentuan mengenai pencegahan konflik, tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban, bantuan penggunaan kekuatan TNI, pemulihan pasca konflik, peran serta masyarakat, pendanaan penanganan konflik, bahkan sampai kepada monitoring dan evaluasi. Bahasa kerennya saya menyebutnya sebagai ‘Management Penanganan dan Evaluasi Konflik Sosial’.

Dalam PP berisi 99 pasal itu disebutkan juga bahwa pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pencegahan konflik. Nah, pencegahannya seperti apa? Antara lain adalah dengan memelihara kondisi damai. Kemudian juga dengan mengembangkan sistem penyelesaian secara damai. Juga dengan cara meredam potensi konflik, serta membangun sebuah sistem peringatan dini. Sama seperti tsunami dan gempa bumi yang ada peringatan dininya, maka konflik sosial juga ternyata ada peringatan dininya. Jadi sebelum konflik terjadi, masyarakat sudah bisa siap-siap.

Penyelesaian secara damai memang selalu menjadi kuncinya. Apalagi Presiden Jokowi adalah penganut ‘mazhab’ penanganan konflik mestilah selalu secara damai. Bukankah peace is always beautiful? Indeed! Contoh salah satu pasalnya berbunyi seperti ini: “Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan pencegahan konflik, mengoptimalkan penyelesaian perselisihan secara damai melalui musyawarah untuk mufakat, dan dapat melibatkan peran serta masyarakat.” (Pasal 7 ayat 1 dan 2)

Di antaranya juga, PP tersebut berbicara mengenai keterlibatan TNI dalam penanganan konflik sosial. Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI untuk penghentian konflik dilaksanakan setelah adanya penetapan status keadaan konflik oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI dilakukan untuk menghentikan kekerasan fisik, melaksanakan pembatasan dan penutupan kawasan konflik untuk sementara waktu. (Pasal 44 dan Pasal 45 Ayat 1)

Beberapa konfliksosial yang mesti dicermati di masyarakat antara lain adalah konflik rasial, konflik politik, dan konflik antar kelas sosial. Banyak penyebab terjadinya konflik, misalnya saja karena isu-isu politik dan perbedaan pilihan, atau juga oleh karena perbedaan kepentingan kelompok, namun yang paling utama sesungguhnya adalah karena faktor kesejahteraan. Ada indikasi bahwa kesenjangan sosial membuat orang mudah untuk berbuat rusuh dan onar. Kalau perut kosong, lapar, dan kemiskinan semakin menggigit maka siapa saja bisa berbuat nekat. Orang kaya bertambah kaya, sementara yang miskin terus terpuruk dalam ‘kemiskinan abadi’, maka jangan heran kalau konflik sosial akan dengan mudahnya terpicu.

Lihat saja betapa banyaknya konflik yang terjadi adalah di awal mulai oleh tuntutan peningkatan kesejahteraan ‘wong cilik’. Daerah berteriak-teriak supaya diperhatikan pusat. Kelas menengah ke bawah heboh menuntut hak-hak mereka. Para buruh berbondong-bondong menuntut adanya perbaikan nasib, dan lain sebagainya. Semakin menderita seseorang, akan semakin menuntut orang tersebut. Ini adalah logika sederhana yang tak boleh terabaikan.

Untuk lebih sederhana saja, lihat saja berbagai perkelahian antar kampung yang terjadi. Siapa saja yang terlibat di sana? Kebanyakan adalah mereka yang nganggur, tidak ada aktivitas tetap, para pemabuk, dan lain sebagainya. Orang-orang ini juga yang akan dengan sangat gampangnya untuk diajak berbuat onar dan mencipta kerusuhan. Apalagi bila lantas dengan itu mereka mendapat upah atau bayaran. Komplit sudah.

Banyak data tentang konflik sosial yang terjadi di hampir semua provinsi di Indonesia ini. Umpamanya di dua daerah yang banyak terjadi konflik sosial misalnya, maka dapat kita lihat bahwa di Papua saja sudah terjadi  sekitar 24 peristiwa konflik sosial (tahun 2013), di Jabar ada sekitar 24 konflik sosial (tahun 2013). Tahun 2014 yang lalu, ada enam daerah yang paling rawan terjadi konflik sosial, yaitu Papua, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, dan Jawa Tengah (http://www.jpnn.com/read/2014/04/15/228539/Inilah-Daerah-Rawan-Konflik-Sosial-di-Indonesia-)

Sewaktu saya di Amerika, isu yang sama juga sering menghiasi berbagai layar TV. Konflik sosial oleh karena kesenjangan sosial. “…..Tensions between the rich and poor in the U.S. are increasing and at their most intense level in nearly a quarter-century…..”, demikian bunyi salah satu berita. Ternyata negara sekelas dan sebesar Amerika juga menyimpan pekerjaan rumah yang sama dengan semua negara berkembang: Bagaimana mengentaskan kemiskinan, dan bagaimana mengecilkan kesenjangan yang amat sangat lebar antara miskin dan kaya. Berita yang lain menyampaikan, “…. Americans now see more social conflict over wealth inequality than over the hot-button topics of immigration, race relations and age”. Dan memang, wealth inequality” akan terus menjadi persoalan yang dapat memicu berbagai konflik, bila pemerintah kurang tanggap untuk dapat berbuat sesuatu mengatasinya. Paling tidak ‘berbuat sesuatu’ tersebut memiliki imbas penting bagi mereka yang kurang sejahtera hidupnya. Apalagi bila kekurangsejahteraan itu secara konsisten dibingkai manis dengan pemberitaan-pemberitaan tentang banyaknya pejabat kaya yang korup. Trigger ini sangat mujarab memicu konflik.

[Ini tulisan menarik tentang gaya hidup dan kelas sosial: Kelas Sosial]

Langkah baik pemerintah menerbitkan PP ini tentu perlu kita apresiasi setinggi-tingginya. Namun, tentu saja topi akan diangkat lebih tinggi lagi bila pemerintah bisa mengentaskan kemiskinan, dan memperkecil jurang perbedaan antara kaya dan miskin sebagai salah satu upaya penting mengurangi pemicu terjadinya konflik. Kan kalau orang sudah bisa makan kenyang, sudah bisa hidup sejahtera, mana ada yang mau berpanas-panas serta bersakit-sakitan ikut terlibat konflik di sana-sini. Mendingan mereka santai saja di rumah sembari nonton TV (minimal 32 inci), melihat para koruptor diciduk KPK dan POLRI. Atau sambil nonton Stand Up Comedy di Kompas TV!---Michael Sendow---

Just my two cents…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun