Tulisan tematik berbau Jokowi dan Ahok yang dilayangkan dan ditayangkan di Kompasiana ini, setelah saya cermati begitu lama, ternyata kebanyakan akan menjadi sebuah tulisan hangat cenderung panas. Apa penyebabnya saya kurang tahu. Satu hal yang saya yakini, adalah karena kedua pemimpin ini sangat terkenal dengan segala sepak terjang mereka berdua yang membumi, tegas, dan merakyat alias pro rakyat. Makanya banyak yang iri dan marah. Bagaimana tidak, biasanya pemimpin punya segudang alasan untuk memperkaya diri dan menebalkan kantong, tapi mereka berdua berusaha memperkaya rakyat yang dipimpin. Bertolak belakang dari ‘kelaziman’ yang sudah mendarah daging di dalam diri banyak penguasa negeri. Akan ada yang tidak suka dengan sepak terjang mereka. Itu sudah pasti.
Lebih gila lagi, sepak terjang mereka yang menurut banyak pengamat politik sudah sangat baik dan sesuai aturan, masih saja terus-terusan dihantam badai kritikan. Tidak terlalu mengherankan Ahok mengatakan, kritik itu perlu tapi jangan dikritik terus menerus. Seolah-olah hidup ini hanya untuk mengkritisi mereka berdua.  Seakan-akan apapun yang mereka lakukan, yang baik sekalipu akan terus dikritik tiada habis-habisnya. Saya sampai berpikiran apa sih maunya orang-orang ini? Keterlaluan itu namanya. Bilang saja Anda sentimen dan tidak ingin lihat kedua pemimpin ini sukses, jangan pakai alasan klise ‘kritik untuk membangun’. Membangun apanya? Orang nggak salah juga kalian kritik kok!
Salah satu contoh adalah si manusia pocong alias Farhat Abbas. Sedikit sedikit sumpah pocong. Bagi dia tiada hari tanpa sumpah poncong. Jokowi tidak mau ambil gaji pun disuruh sumpah pocong. Dasar manusia pocong. Masak orang punya agama lebih percaya pocong daripada Tuhan? Apa sih sumpah pocong itu? Ada-ada saja orang ini. Hanya cari ketenaran atau nimbrung supaya ikut tenar doang! Pocong itu hanya ada di film-film, jadi Anda sajalah yang sumpah pocong nggak usah ajak-ajak orang lain.
Kembali ke masalah tulisan di Kompasiana dan mengenai kompasianer gadungan. Sebenarnya siapapun boleh menulisan apapun di sini ya? Tapi dengan batasan-batasan tertentu yang dibuat Admin. Sudah bagus. Berjalan seperti yang diinginkan. Tapi memang sebuah tulisan politik pasti selalu mendapat ‘tempat terhormat’ karena pasti akan diserbu banyak pembaca. Apalagi kalau tulisannya mengenai Jokowi dan Ahok. Yang menjadi masalah adalah semakin maraknya kemunculan para kompasianer gadungan. Apa sebab saya bilang gadungan? Ya karena mereka memang gadungan! Tidak pernah menulis satu tulisan sekalipun tapi menghujat dan mencacimaki kiri kanan. Belum lama mendaftar tapi sudah membuat onar dan rusuh sana-sini dengan membawa-bawa bendera keagamaan dan menebar kebencian lewat unsur SARA. Ini memang manusia-manusia mental pemecah belah, tidak lebih!
Mengkritik kebijakan maupun tindakan Jokowi Ahok ya silahkan saja, tapi kalau kalian bawa-bawa nama agama dan unsur SARA, itu tidak lebih dari orang-orang bermental keripik dan berkelakuan busuk. Jangan sekali-kali membangkitkan sentimen agama dan SARA di Kompasiana, apalagi dengan cara menghina, memaki, maupun menjelekkan-jelekkan penulis yang kalian tidak sukai.
Jadi sebaiknya kita membuat tulisan tandingan terhadap sebuah tulisan yang menurut opini kita kurang valid atau tidak kita sukai. Bukannya dengan masuk halaman rumah orang dan menebar kotoran di sana. Itu sangat tidak etis dan tidak elegan. Cara-cara terselubung kaum pemecah belah dan pengadu domba. Tidak ada tempat untuk mereka di Indonesia ini. Di Kompasiana ini juga. Makanya wajarlah admin kemudian membanned akun-akun tidak jelas sepeti itu. Misalnya si Tawon Galilea, Pixotte, dan masih banyak lagi. Tapi mereka akan selalu menjelma menjadi ‘akun baru’ walaupun nyata-nyata hadir lagi dengan kapasitas otak dan pemikiran yang sama.
Tulisaan tentang Jokowi dan Ahok selalu mendapat tempat yang layak, itu karena mereka pemmimpin yang sudah berbuat sesuatu. Tidak seperti para pengeritik yang suka membabibuta, triomacan2000, dan kompasianer-kompasianer gadungan tersebut adalah contohnya. Mereka itu tak jelas dalam memberi kritik serta selalu menyebar fitnah dan membawa-bawa unsur sara sebagai alat pemecah belah.
Ada satu tulisan saya sebelum ini yang mendapat komentar lebih dari 125 biji. Tapi komentar-komentar yang tidak mendukung Jokowi Ahok hanya datang dari dua akun yang baru lahir 3 minggu lalu itu. Siapa lagi kalau bukan si Tawon yang sudah dibanned. Satu lagi adalah Putera apalah namanya itu. Ini jelas membuktikan bahwa yang mendukung Jokowi dan Ahok itu adalah ‘mayoritas’ di negeri ini. Survey pun sudah membuktikan. Jadi kalau ada yang datang-datang dan bawa nama rakyat, tanya dulu rakyat yang mana. Kompasiana itu adalah ‘Indonesia mini’. Apa yang tergambar di sini, kemungkinan itulah gambaran di luar sana.
Kompasiana memang dapat dijadikan alat ukur dan alat raba. Mengukur dan meraba seperti apa pandangan orang banyak (rakyat). Ketika ada tulisan tentang Jokowi/Ahok dan segala kebijakan mereka kemudian mendapat tanggapan beragam, dan ratusan jumlahnya yang hampir 98% mendukung dan setuju, maka akan terlihat seperti apa dukungan terhadap mereka berdua (Jokowi Ahok).
Jadi kalau ada yang mengkritik mereka, segera buat tulisan khusus, jangan hanya seperti lebah (tawon) yang hinggap di sana hinggap di sini demi  menebar ‘virus permusuhan’. Setelah Anda buat tulisan, tungguilah dan lihat saja. Bila tulisan kritikan itu disetujui banyak orang berarti ada kemungkinan lebih banyak orang yang memang tidak menyukai Jokowi Ahok. Tapi kalau Anda dan tulisan tersebut dibantai habis-habisan, maka sadar dirilah. Berarti masih lebih banyak yang mencintai Jokowi Ahok.  Selamat menulis dan selamat dibantai. Ups salah! Selamat menuai kecaman maksudnya. MA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H