Jangan Pilih Ahok Karena Akan Masuk Neraka?
Pilkada DKI kali ini memang luarbiasa hebat pengaruhnya. Ada begitu banyak persepsi yang berkumandang di sana dan sini. Bahkan dengan sengaja agama dibawa-bawa. Saya tidak ingin berpolemik lebih jauh lagi. Lebih baik straight to the point. Ada yang bilang dan bahkan menulis di Kompasiana ini, bahwa akan menjadi kafir juga muslim yang memilih orang kafir. Bahkan barusan ada tulisan yang bagus tapi ujungnya dikaitkan lagi dengan pilkada, mengungkapkan bahwa yang memilih pemimpin yang tidak seiman akan membawa kita ke neraka.
Kawan, jujur saja, apa memang seperti itu? Kenapa nanti pada pilkada DKI kali ini soal seperti terus diulang-ulang? Kenapa sejak lama bila yang terpilih ketua RT, Lurah, Walikota, Bupati, Boss Perusahaan tidak dipermasalahkan. Kenapa sekarang? Ini pasti ada apa-apanya dengan tujuan memenangkan status quo. Kalau alasannya bukan itu, berarti tidak ada alasan lain selain bahwa yang mengulang-ulang itu punya otak yang cara kerjanya sempit, tidak terbuka (maaf mungkin juga sedikit kolot), dan alam pemikirannya datang dari jaman batu. Ia tidak suka perubahan. Ia tidak suka dengan kemajemukan. Dan ia juga tidak suka keberagaman.
Saya pernah berkomentar (tapi sampai detik ini belum ditanggapi) begini, langsung saja, apakah memang Allah pernah datang langsung ke dianya, atau pernah menyuruh salah satu malaikatnya turun langsung ke bumi, tepatnya mendarat di Jakarta dan kemudian melarang semua warga muslim untuk tidak memilih yang non muslim untuk jadi wakil gubernur mereka? Kalau nggak maka akan dikirim ke neraka jahanam sana. Pernah ada? Atau itu hanya sebatas tafsiran? Kalau ternyata benar hanya masalah tafsiran, maka itu tidak menjadi 100 persen benar. Siapakah anda yang berani menjamin bahwa tafsiran anda terhadap ayat atau hadist tersebut adalah yang paling baik dan benar? Bukankah ada juga uztad dan para ahli agama islam lainnya yang menafsirkannya secara berbeda? Apa anda mau mengatakan bahwa penafsiran andalah yang paling benar? Nauzubillah min zalik, belum tentu itu, kawan!
Masak anda mau menjadikan andalah sentral kebenaran penafsiran dan memandang sebelah mata para ulama lain, anggota NU, dan siapapun yang lain yang menafsirkannya secara berbeda. Kalau anda bilang mereka yang salaf tafsir, mereka dan banyak orang lain juga bisa bilang sebaliknya, andalah justru yang salah tafsir dan omong kosong.
Lebih lanjut lagi ada tulisannya yang bilang apapun alasannya, sudah sangat jelas dan wajib hukumnya untuk memilih pemimpin yang seiman. Hehehehe hukum dari mana itu? Negara Arab Saudi, Mesir, dan banyak Negara Timur Tengah saja tidak menjadikan itu sebagai landasan hukumnya. Saya bilang, kalau itu memang mau dijadikan hukum yang benar-benar sahih, maka turunkan saja burung Garuda itu dan silahkan ganti dengan burung nuri atau burung hantu.
Selama kita masih manusia mbokya jangan jadi rakus kebenaran. Mencintai kebenaran boleh. Menyukai apa yang anda yakini benar silahkan dan boleh sekali. Tapi ketika anda menjadi rakus dan maruk, bahwa yang benar itu hanya boleh tafsiran anda semata, maka sesungguhnya andalah yang sementara naik ojek (tikung sana-tikung sini) menuju neraka. Hati-hati. Mereka yang selalu berkoar-koar seakan-akan paling benar seringkali menyimpan dosa paling banyak.
Kadang-kadang dari hati orang-orang seperti inilah keluar kebencian, iri, dan rasa tidak suka berlebihan. Acap kali juga berusaha untuk mempengaruhi orang lain supaya mengikuti cara berpikir yang katanya paling betul itu. Lalu apa benar mereka sudah mendapat ‘stempel sorga’ serta yang tidak sepemahaman dan sepenafsiran dengan mereka maka sudah pasti tempatnya ada di Neraka jahanam sana? Berdosalah mereka yang menkafirkan orang lain padahal mereka hanyalah seonggok debu yang karena kuasa Allah tercipta menjadi manusia. Tidak pantas anda mendahului kemahakuasaan dan maha adilnya Allah.
Lebih lucu lagi, penafsiran yang terlalu dipaksa-paksakan dengan mengasosiasikan non muslim adalah kafir, dan kafir itu berarti non muslim. Padahal Alquran jelas menjabarkan bahwa muslim yang rakus dan serakah itu juga kafir, koruptor itu kafir, tidak mengindahkan ibadah itu kafir, dan masih banyak lagi. Kafir itu luas, kawan. Kalau disempitkan menjadi 'non muslim'. Jelaskan lagi, yang tertera di situ kata kafir apa non muslim?
…..Dan karena akhir-akhir ini, si status quo sudah mulai semakin jelas terlihat segala ‘kebusukannya’ dan kekafirannya, maka tulisan untuk tidak memilih pemimpin non muslin tapi pilihlah si status quo dirobah menjadi: Pilihlah yang seiman dan jangan yang tidak seiman karena azab akan ditimpahkanNya serta yang tidak mengindahkannya tempatnya adalah di Neraka. Tidak lagi menonjol-nonjolkan kelebihan si status quo (Baca: Foke).
Memang sangat mudah agama dipolitisasi, bahkan ayat dan haditz dipolitisasi. Pemikiran jaman batu mau dipaksakan pada jaman superconductor. Ingatlah saja satu hal yang paling penting, penafsiran kita belum tentu adalah yang paling betul. Menafsirkan sebuah ayat dengan memakai sudut pandang jaman batu tentu akan lain dengan menafsirkan sesuatu sesuai konteks kekinian. Jadi nggak usah agama bahkan iman dipolitisasi. Percuma, kawan!
Lebih baik berjuang untuk memanusiakan manusia dengan cara-cara yang bijak, sehat, dan manusiawi. Juga untuk memilih pemimpin menggunakan akal sehat bukan dengan akal sempit.
-----Tidak akan pernah ada kedamaian abadi di bumi ini sebelum manusia belajar bahwa konflik fisik tak bisa menyelesaikan masalah moral.-----
Itu saja dulu untuk hari ini. Lawanlah akal bulus dengan akal sehat. (MA)
Salam Creepes!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H