Mohon tunggu...
Michitra Adhikarsa
Michitra Adhikarsa Mohon Tunggu... -

Manusia biasa...Just an ordinary man. Love to write and read almost about everything.\r\nPengamat dan pemerhati masalah KOMPASIANA, media, dan semua hal. Belajar menjadi hamba.

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Mentalitas Perampok" Jangan Dipelihara!

11 April 2011   03:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:56 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_100993" align="alignleft" width="300" caption="Gedung segede ini tidak cukup?"][/caption] Rencananya, pembangunan gedung baru DPR akan dimulai pada 22 Juni 2011. Gedung baru tersebut diperkirakan bakalan menghabiskan Rp.1.162 triliun, belum lagi anggaran untuk IT, system keamanan dan furniture, maka akan tambahan biaya sekitar Rp.5 Miliar…Jadi total anggaran bisa mencapai Rp.1.168 triliun. Sebuah angka yang tidak main-main. Angka yang luar biasa untuk “hanya” sebuah bangunan, yang nantinya bakal dinikmati oleh para wakil rakyat. “Wakil” ini yang akan duduk enak di gedung tersebut…sedangkan mereka diwakili (rakyat) masih banyak yang tinggal di gubuk reot, beralaskan tikar, berdindingkan bamboo dan berlampukan lilin sebatang.

Pro dan kontra memang masih terus berlangsung. PDIP, PAN, GERINDRA dan HANURA adalaj partai-partai yang menolak dengan tegas pembangunan gedung baru btersebut. GOLKAR dan DEMOKRAT berada dipihak yang berlawanan, sisanya masih malu-malu kucing untuk menentukan sikap. Secara prinsip mungkin mereka menolak, tapi keinginan untuk duduk enak, nyantai dan nyaman di gedung superlux itu tentunya menjadi impian tersendiri. Keinginan dan prinsip memang kadang berseberangan. Idealisme dan kerakusan sering dating secara bersamaan. Kata mereka “ I’m only human…”

Katanya (ini katanya lho..bukan kata saya), menurut berita dan wawancara kiri-kanan, mereka (yang mendukung pembangunan) pembangunan ini penting karena didasari pada beberapa kebutuhan (dan kepentingan!) antara lain: Perubahan jumlah anggota dewan yang selalu bertambah tiap periodenya, serta tidak mencukupinya gedung Nusantara I untuk menampung aktivitas anggota dewan…..Alamak, memangnya pertambahan tersebut kayak telor ayam yang menetas menjadi ayam yah? Atau ulat bulu yang beranak-pinak, bertambahnya adalah sangat drastic. Apakah memang anggota dewan akan bertambah secara drastic tanpa ketentuan undang-undang? Atau sistemnya barangkali yang sudah lain? Lalu katanya untuk menampung aktivitas anggota dewan? Aktifitas apaan sih yang bikin mereka harus punya ruangan besar? Fitness? Main ping-pong? Atau harus ada ring tinjunya barangkali? Aktivitas mereka yang paling pentingkan harus berada dengan rakta, bersama rakyat dan untuk rakyat! Bukan jadi memble di dalam gedung yang maha megah tersebut. Jangan-jangan Cuma dipakai buat sembunyi-sembunyi nonton film porno kali..

Kemudian alasan yang lain adalah, katanya (ini katanya lagi lho…) saat ini tiap anggota dewan di gedung Nusantara I itu “hanya” menempati ruang seluas kira-kira 32 meter persegi, dihuni oleh 1 anggota dewan, 1 sekertaris dan 2 staff ahli. Kondisi ini dinilai tidak optimal lagi bagi kinerja anggota dewan, maka diperlukan penambahan perluasan ruangan. Alasan yang dibuat-buat! Apanya yang tidak cukup luas? Memang mereka mau main golf di dalam ruang? Mereka dipilih rakyat untuk duduk di ruangan itu adalah supaya mereka bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan sebaliknya merampok rakyat dengan alasan klise. Atau dengan alasan yang sebenarnya…demi kenyamanan mereka!

Alasan berikutnya adalah, pada masa bakti periode 2009-2014, ada keinginan dan kebijakan penambahan jumlah staff ahli yang tadinya Cuma 2 ekor, maksudnya Cuma 2 biji, eh salah sagi…maksudnya Cuma 2 personil menjadi 5., serta penambahan fasilitas berupa ruang rapat kecil, kamar mandi dan ruang tamu. Ini ruang kerja apa hotel sih?

Terus penambahan staff ahli buat apa? Kalau memang anggota dewan kurang ahli sehingga perlu 5 staff ahli, yah sadar diri ajalah, lengser, mengundurkan diri secara resmi. Alasannya “Saya kurang ahli” atau “saya tidak punya keahlian, saya hanya ahli dalam urusan menipu rakyat”. Gitu aja kok repot. Berdasarkan alasan konyol seperti itulah, mereka berniat memperluas dari 32 meter persegi menjadi (rencananya) 120 meter persegi.

Semua alasan tersebut di cap positif oleh mereka dan dipatenkan dalam nurani mereka sendiri sebagai alasan pembenaran dan penguat untuk supaya pembangunan tetap diteruskan. Kontroversi dan kecaman yang nyaring disuarakan berbagai pihak tidak lagi digubris dan apalagi diperhatikan. “The show must go on..” Itulah semboyan mereka. “Tidak ada seorangpun yang dapat berkata tidak!! Dan melarang kami..” Mungkin itu bait puisi mereka, yang manis di telinga mereka tapi sumbang di telinga rakyat yang meraka wakili.

Marzuki, sang boss dengan bangganya mengatakan bahwa sebagai anggota dewan yang dipilih rakyat melalui pemilu, maka DPR perlu untuk dipercaya sebagai representasi dari rakyat. Ungkapan ini sebenarnya adalah substansi penting untuk mengukur kinerja dewan yang terhormat tersebut. Sebab, bukankah inti dari pembangunan gedung baru sejatinya bermuara pada peningkatan kinerja? Ukuran inilah yang bisa menjadi parameter dari berbagai fasilitas yang diberikan untuk anggota dewan.

Tapi, yang begitu mengganjal nurani rakyat banyak, apakah meningkatkan pelayanan dan kinerja bagi rakyat yang memilih mereka itu harus dengan menambah fasilitas? Menguras anggaran Negara untuk kepentingan dirinya sendiri dengan mengatasnamakan rakyat banyak? Itu bagi saya, bukanlah tindakan yang benar-benar pro rakyat. Sama sekali tidak ada sinkronisasi atas apa yang mereka suarakan dan tindakan mereka!

Padahal sudah jelas, mereka dipilih untuk menjalankan tugas mereka yaitu salah satunya menyejahterakan rakyat. Bukan memanfaatkan rakyat demi kepentingan dan kenyamanan sendiri.

Mentalitas kepemimpinan yang seperti itu adalah “mentalitas perampok”. Karena ada indikasi yang jelas bahwa mereka lebih memilih untuk kenyamanan mereka sendiri. Tamak dan rakus. Jaman dahulu kala, ada dewa yang di percayakan oleh para dewa untuk menjadi pemimpin rakyat (mahluk bumi). Tapi dewa tersebut menggunakan kekuasaannya tidak lagi untuk membela rakyat dan melindungi kepentingan rakyatnya, melainkan menindas dan memeras demi kepuasan hawa nafsunya. Kuasanya dimanfaatkan demi kepentingan diri dan kelompoknya.

[caption id="attachment_100994" align="aligncenter" width="448" caption="Pemandangan yang kontras..."][/caption]

Bukankah pembangunan gedung yang menelan biaya sangat besar itu berbanding terbalik dengan kenyataan rakyat yang mereka wakili? Di mana kemiskinan, kekurangan dan penderitaan masih menghantui. Apakah dewan kita yang terhormat itu benar-benar mewakili kita sebagai rakyat, atau mereka hanya mewakili hawa nafsu dan ketamakan mereka sendiri. Dengan tetap kukuh memelihara “mentalitas perampok” itu!

Sumber gambar: DPR.com dan Gubukreot.blogspot.

MICHITRA ADHIKARSA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun