Satu per satu nasihat dari orang lain mengenai kondisi saya, tidak semuanya saya buang. Sebenarnya saya menyerapnya. Saya tahu, bahwa mereka peduli, bisa jadi hanya itu yang bisa mereka lakukan, selebihnya pun saya ada dalam doa mereka.Â
Anda mungkin berpikir mengapa saya tidak ke psikolog atau psikiater. Oh, saya melakukan konseling yang disediakan Gereja, saya pun pernah konseling di sebuah yayasan universitas. Itu gratis, mengingat saya harus terlalu berhemat. Tetapi juga lokasinya jauh, jadi saya harus mempertimbangkan ongkos juga.
Mau tidak mau, saya perlu cari cara untuk mengobati diri sendiri. Seberapa ampuhnya? Saya tidak tahu, tetapi saya teringat seorang teman di persekutuan mengatakan demikian:
Hubungan kita dengan Tuhan adalah seperti cara orang Roma bersalaman, yaitu sailing mengenggam pergelangan tangan ke atas setelah siku. Jika tangan satunya adalah tangan kamu, dan satunya adalah tangan Tuhan, kamu lepaskan pun tangan Tuhan masih sangat kuat memegang tanganmu. Jika kamu terlepas dari genggamannya, pertanyaannya: sekuat apa tanganmu menepis genggamanNya, atau jangan-jangan kamu salah berpegang itu bukan tangan Tuhan? Kamu yakin tangan Tuhan tidak kuat? Tuhan seperti apa yang tidak kuat menahan genggamanNya?
Sejauh ini saya mencoba merangkum tahapan apa saja yang saya pakai untuk tetap berjuang dan melewati masa-masa depresi, sedangkan saya harus tetap bekerja dan melanjutkan hidup. Saya harus menganalisa, dan secara cepat serta tanggap harus mengatasinya.Â
Point yang paling utama memang adalah KEJUJURAN. Jujur dan menerima diri. Harus peka dan tidak boleh memaksakan diri, saya harus tahu di mana batasan saya. Ketika saya memikirkan sesuatu dan itu berat, maka saya harus mundur. Alihkan. Tidak masalah, karena itu alarm. Jika saya panik dan emosi, maka satu api bisa membakar semua dan saya kembali tidak bisa bekerja.
Apa saja contohnya?Â
- - Saya tidak boleh memikirkan satu hal terlalu jauh target dan terlalu tinggi. Alarmnya, berisik sekali di kepala saya banyak penolakan untuk berhenti, bahkan memaki. Maka saya harus mundur perlahan, dan mengubah standar, mencari ketenangan dengan tulisan, bacaan, video, lagu, atau hal sekitar.. hal sekitar adalah yang paling cepat, dan tanggapilah. Seperti saya menyambut kemenakan dengan senyuman. Merasakan nafas, lalu bilang: I thank God. I'm fine.
- - Saya tidak boleh sendirian. Saya tidak paham mengapa sekarang dalam keadaan sendirian saya merasa sangat rapuh, sensitif, dan rasa drop hingga menangis semakin menekan. Alarmnya berupa sampai saya menangis, dan saya yakin bisa menemukan sesuatu yang bisa membuat saya kembali tenang. Percayalah, kondisi emosi 'jet coaster' ini tidaklah mengenakan.Â
- - Dulu saya cepat sekali merasakan sedih dan gembira di satu titik berlawanan, bisa dalam waktu yang dekat. Tetaplah dalam kontrol, jika itu bahagia, wajarkanlah; jika itu sedih.. tenang dan timbulkanlah sukacita. Carilah sebuah makna, jika sulit, maka harus diam. Mulut dan pikiran harus diam.Â
hanya satu yang masih sulit saya lakukan, yaitu mendiamkan pikiran terlalu aktif dan impulsif. Saya tidak boleh diam, bahkan kesulitan tidur di waktu malam yang merupakan saat sepi. Saya baru akan tidur menjelang subuh.
Selain kejujuran, sama pentingnya TAHU SIAPA YANG DIANDALKAN. Saya punya iman bahwa saya punya TUHAN yang kuat menggenggam tangan saya. Ketika saya merasa panik dan sulit terkontrol, lalu saya mundur tapi saya tetap khawatir : bagaimana jika saya mundur, maka masalah itu tetap mengejar saya? Tetap menekan hidup saya?Â
Hei..hei.. itu bukan bagian saya, bagian saya adalah tetap percaya bahwa IA yang sanggup. Percayakan..percayakan..percayakan kepada DIA yang kudus, dan kuasa.Â
Hal kedua adalah hal-hal PENGALIHANÂ yang saya sebut di salah satu point di atas. Menggambar, menulis, mendengarkan, tanggap sekitar adalah perlu dilakukan untuk mengurangi kepanikan. Tetap dalam kontrol, meminta bantuanNya untuk tetap dalam kontrol, artinya pengalihan bukanlah pelarian, saya harus diingatkan tanggung jawab satu per satu dari yang terkecil tetapi selesai tepat.