Kalau terpikirkan tentang teknologi, maka jelas benda-benda tersebut diciptakan untuk membantu tugas manusia. Nah, tapi mengapa masih ada yang menyulitkan manusia, ya? Saya akan berbagi pengalaman selama mengajar, dan bekerjasama dengan beberapa orang atau organisasi yang "terpaksa" menggunakan teknologi informasi di pekerjaannya.
Hal pertama yang saya bagikan dari pengguna dulu. Pengguna teknologi tentu dari pelbagai latar belakang, biasanya faktor usia yang paling banyak menentukan kemampuan mereka untuk mau atau bisa mempelajari hal baru. Selain usia, mau usia berapapun tergantung kemauan orang tersebut untuk belajar menggunakan, dan lebih baik lagi jika saja ia mau belajar mengetahui pola atau proses kerja teknologi tersebut sehingga lebih tepat guna dan efisien.
Dalam tiga tahun masa mengajar sekarang ini saya menemui berbagai macam sistem yang diciptakan untuk ujian (pengambilan nilai), dan membuat laporan (eRaport). Khususnya dalam hal ini saya akan banyak membahas tentang eRaport yang sudah mulai dilakukan oleh banyak sekolah di beberapa provinsi atau kota.
Sudah saya menyampaikan soal pengguna  dan kemauan yang berpengaruh pada kemampuan ia bisa cepat belajar memakai teknologi. Nah, sebagai pencipta sebuah mesin memang sebaiknya benar-benar memahami kemampuan kebanyakan pengguna di samping soal butuh atau tidaknya teknologi tersebut digunakan.Â
Apa saja yang berpengaruh? Tampilan, peta atau langkah-langkah kerja yang jelas mendukung pengguna mudah menggunakan teknologi, trial and error perlu diujicoba, dan bagaimana transfer sistem otomasi mulai dijalankan menggantikan sistem manual. Perlu diingat, teknologi hanya mesin, jadi pencipta maupun pengguna yang lebih punya otoritas bagaimana mesin tersebut tepat guna.
Masalah e-Rapor yang terjadi di kota saya mengajar (di Tangerang), masih banyak PR yang harus diperbaiki. Jadi, anggaplah ini sebagai saran saya sebagai pemerhati pemakai dan sistem yang digunakan. Pertama, penyedia sistem harus bersikap maklum dan sabar dengan pengguna, baiknya jangan terlalu memaksakan keseluruhan sistem berjalan lancar, apalagi, setelah sistem di-launching masih banyak kendala.
Kedua, sebaiknya konversi sistem tidak dipaksakan secara menyeluruh ke semua sekolah. Ada pelbagai macam cara konversi sistem, jadi bisa dilihat tingkat keberhasilannya dulu. Ya, saya berpendapat demikian setelah melihat berkali-kali server down. Bahkan sampai ada guru yang menangis, sudah susah isinya, begadang-begadang, setelah disinkronisasi malah gagal update dan menyebabkan semua data hilang. Â Kalau saya lebih memilih, ada 3-4 sekolah percontohan yang menggunakan.
Ketiga, sebelum membuat program survey dan analisa pengguna dan sistem manual yang berjalan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Hindari asumsi yang kelewatan. Salah satu masalah dalam program e-Rapor adalah masalah pendidikan agama. Mungkin, yang saya dengar begitu, memang ada kebijakan untuk anak mengenyam pendidikan agama sesuai agamanya masing-masing. Namun perlu diketahui, Anda tidak bisa merubah identitas atau budaya beberapa sekolah swasta.
Ada apa sih? Jadi begini, sekolah swasta beragama tertentu memang menerima siswa-siswa beragama lain. Namun, di awal pendaftaran orangtua menyanggupi untuk anak-anaknya belajar agama sesuai identitas sekolah beragama tertentu tersebut, dicatat: sesuai kerelaan mereka. Nah, sedangkan sistem Anda memaksakan pendidikan agama yang memang sudah dipelajari siswa di sekolah kembali pada kompetensi dasar agama yang dianutnya. Jelas, itu sangat menyulitkan guru dalam menginput nilai.
Kan sudah ada pemberitahuan? Maaf, informasi tersebut belum merata. Kedua, itu hak pribadi keluarga tersebut, dan belajar agama lain belum tentu menjadikan anak tersebut menganut agama yang sedang ia pelajari di sekolah. Â Teman-teman saya mengalami ini, dan pendidikan agama mereka masih sangat baik sampai saat ini, meskipun belajar agama lain di sekolahnya.
Kemudian, meminta nilai pendidikan agama sesuai kompetensi dasar sesuai agama yang dianutnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi Anda baru memberi saran solusi dalam tempo waktu 5 hari. Pemimpin agama pun tidak sembarang memberi nilai anak tanpa melihat prosesnya dalam lingkungannya sendiri. Misal, di salah satu Gereja Protestan, tidak mau sembarang memberi nilai anak yang memang bukan umatnya di gereja tersebut.