Mohon tunggu...
Anna Maria
Anna Maria Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer | Teacher | Heritage Lover | Kebaya Indonesia

Love my life, my family, my friends, my country, my JESUS CHRIST

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Batik, antara Tradisi dan Industri

26 Januari 2017   23:03 Diperbarui: 26 Januari 2017   23:14 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menyukai batik sejak SMA, sewaktu itu saya meminta mbah untuk menyimpan batik-batiknya bisa saya simpan. Sewaktu mbah saya meninggal dunia 2008 lalu, batik-batiknya ternyata sebagian diberikan kepada bude, dan tahun lalu saya mengikuti komunitas pecinta batik dan kebaya saya cukup menyesal. Hanya sekira 4 saja batik lawas dari eyang-eyang saya temukan dan simpan sampai sekarang.

Saat ini, dari usaha travel (independen) saya menyambi jualan batik. Tahun lalu saya dititipi teman sekolah untuk menjual batik tulis Madura dari kerabatnya. Sayang, saya tidak berhasil menjual semua. Tetapi, saya dapat ilmu lebih banyak. Ternyata berbeda menjual kain batik dengan baju batik di pasaran.

Bagi pecinta batik, mereka jelas lebih paham soal bahan, soal motif, dan bagaimana teknik pembuatannya. Adapun teman saya yang bisa memegangnya saja tahu mana cap, printing, atau tulis; dan kira-kira usia berapa kain batik tersebut. Ya, saya bertemu dengan orang-orang hebat (termasuk klien saya dulu, yang nenek berusia hampir 80 tahun itu).

Ketika tahu saya berjualan, teman-teman pembatik (yang ada di socmed) tidak pelit ilmu membagikan pengetahuannya soal batik. Dari jenis kain mana yang lebih murah dan tipis, mana yang lebih tebal dan awet, bagaimana cara merawat kain sebelum dicanting/diberi malam, penjelasan teknik pembuatan termasuk pewarnaan, sampai selesai.

Teman-teman pun ada yang tahu soal makna di balik motif batik, asal motif, serta perjalanannya ke daerah-daerah lain.Motif memang tidak sembarang dipakai, saya kira awalnya hanya batik pedalaman saja (bati Solo/Yogyakarta), ternyata di daerah lain meskipun termasuk pesisiran motif itu ada yang kaya makna. Daerah Tuban misalnya, ada warna khusus yang melambangkan status si pemakai berdasarkan usia, lajang/menikah.

Ketika saya memasuki dunia industri, saya mengalami kesulitan memilih pasar. Pasar kebanyakan hanya tahu motif bagus, warna cerah. Maunya sudah jadi baju, dan murah.

Padahal murah itu kebanyakan printing. Memang semua tergantung pasar, namun terselip rasa sedih melihat makna kaya batik itu mulai memudar. Sungguh, saya dan beberapa teman yang paham soal batik tidak keberatan jika harus menjelaskan mengapa harga berbeda.

Sedangkan di sisi lain soal tradisi, kini butuh juga pembatik-pembatik muda yang tidak kehilangan nilai tradisi turun menurun. Bukan soal motif yang menarik saja, tapi ada makna terselip, harapan dan cerita bagi si perancang dan penoreh canting, hingga menjadi bahan yang siap pakai.

Lalu, dengan saya? Tentu saya harus banyak belajar lagi. Semoga dengan berjualan saya bisa tambah ilmu dan menularkannya kepada calon pembeli hingga langganan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun