Mohon tunggu...
Michelle Nata
Michelle Nata Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pernikahan Beda Agama

1 Desember 2018   14:21 Diperbarui: 1 Desember 2018   14:47 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.jangkargroups.co.id

Indonesia adalah sebuah negara majemuk yang memiliki banyak ras, suku bangsa, budaya, dan agama yang berbeda. Hal ini bisa menjadi suatu kelebihan yang dimiliki Indonesia, tapi terkadang hal ini merupakan masalah bagi mereka yang kurang bisa menerima perbedaan. Sebagai negara yang menunjung tinggi demokrasi dan HAM, sudah seharusnya perbedaan menjadi hal yang biasa. Tapi bagaimana dengan pernikahan beda agama yang seringkali menimbulkan masalah di masyarakat? Seperti koin yang memiliki sisi gambar dan angka. Begitu juga dengan pernikahan beda agama, menimbulkan bermacam-macam pendapat pro dan kontra, tergantung perspektif orang yang melihatnya.

Sila pertama Pancasila yang berbunyi, "Ketuhanan Yang Maha Esa", mengandung maksud bahwa setiap warga negara berhak untuk memilih satu agama sebagai kepercayaan dan keyakinannya pada Tuhan. Sila pertama ini sama sekali tidak membatasi warga Negara dalam memilih dan menjalankan ibadahnya. Sila ini juga tidak mengatur secara eksplisit tentang boleh atau tidaknya pernikahan beda agama dilakukan di Indonesia. Dalam peraturan perundangan pun tidak tertulis larangan mengenai pernikahan beda agama. Seperti tertulis dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi,

"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya itu."

Aturan mengenai boleh atau tidaknya pernikahan beda agama ini sebenarnya muncul dari pemeluk agama itu sendiri. Setiap agama, adat istiadat, maupun kepercayaan yang ada mempunyai aturannya sendiri mengenai hal ini. Memang aturan itu seringkali bukanlah aturan yang tertulis seperti hal nya undang-undang negara. Namun setiap pemeluk agama tentu sudah memahaminya.

Melangsungkan pernikahan merupakan salah satu bentuk implementasi dari HAM di Indonesia. Menikah dengan siapa, menikah di umur berapa, tentunya setelah memenuhi syarat umur untuk menikah, merupakan hak setiap orang untuk memutuskannya sendiri, selama hal itu tidak melanggar hukum dan tradisi yang ada. 

Namun, yang terjadi di kenyataan, meskipun peraturan perundangan di Indonesia tidak melarang adanya pernikahan beda agama, akan tetapi orang yang telah memutuskan untuk melakukan pernikahan beda agama kadangkala mendapat sanksi sosial dari keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Mulai dari komentar yang tidak enak, dianggap murtad, bahkan ada yang sampai dibuang oleh keluarga. Hal ini seringkali terjadi. Karena setiap keluarga pasti memiliki kekhawatiran mengenai masa depan anak-anaknya nanti. 

Dalam hal beragama, mereka tentu pernah berpikir apakah mereka akan mengikut agama ayahnya atau ibunya? Mungkin juga mereka khawatir jika pernikahan tersebut akan menimbulkan banyak masalah dan berakhir menyedihkan. Ataukah mereka merasa kecewa dengan kenyataan bahwa mereka harus menerima anggota baru yang memiliki kepercayaan yang berbeda? Pastinya setiap keluarga punya pertimbangan dan alasan tersendiri sebelum memutuskan untuk memperlakukan anggota keluarganya yang menikah dengan orang berbeda kepercayaan seperti itu.

Sebetulnya, pernikahan beda agama akan baik-baik saja jika setiap orang memiliki pikiran yang terbuka untuk menerima perbedaan yang ada dengan baik dan bijaksana. Setiap orang memiliki HAM untuk memilih agamanya sendiri tanpa dipaksa, termasuk anak-anak mereka. Masing-masing anggota keluarga pun juga berhak untuk menjalankan ibadahnya masing-masing serta memiliki hak agar agamanya dihargai dan dihormati. Dan semuanya itu bisa berjalan dengan baik dan lancar jika mereka saling menghargai dan menghormati,  dan tidak terlalu memperdebatkan soal perbedaan agama mereka itu.

Namun akar masalah dari sulitnya menerima perbedaan tersebut adalah karena setiap pemeluk agama merasa bahwa agama mereka itu yang paling baik dan benar dan menganggap agama lain itu salah. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki sifat dasar yaitu ego. 

Ego manusia inilah yang menjadi pemicu timbulnya penilaian yang subyektif terhadap hal-hal yang berbeda dengan kita. Ego ini jugalah yang membuat manusia sulit untuk mengubah pola pikir yang menganggap bahwa diri mereka atau keputusan mereka lah yang paling baik dan paling benar.

Dalam mengatasi masalah tentang pernikahan beda agama ini, pendidikan dari keluarga dan sekolah sangat diperlukan. Sejak usia dini, anak-anak perlu diajarkan bahwa semua agama itu mengajarkan hal yang baik, tanamkan toleransi pada mereka dan harus diajari untuk menerima perbedaan yang ada pada orang yang berasal dari agama, suku dan budaya yang berbeda dengan kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun