Mohon tunggu...
Michelle Dela Furadi
Michelle Dela Furadi Mohon Tunggu... Lainnya - -

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toxic Masculinity: Nyata Namun Terlantar

12 Februari 2023   16:15 Diperbarui: 12 Februari 2023   16:23 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita semua sudah familiar dengan istilah feminisme yang memperjuangkan hak-hak wanita, tetapi bagaimana dengan sisi pria? Sering dikenal sebagai toxic masculinity atau maskulinitas beracun, istilah ini merujuk pada ekspektasi terhadap pria secara sosial di dalam masyarakat. Masih banyak orang yang belum mengetahui atau justru pura-pura untuk tidak tahu mengenai isu maskulinitas beracun ini karena tertutup oleh maraknya demonstrasi dan pergerakan yang lebih menjunjung tinggi kesetaraan gender dari sisi wanita. Tentu ketidaksetaraan gender yang dialami para wanita tidak boleh diremehkan, namun perlakuan tidak adil atas kaum pria dengan adanya maskulinitas beracun tidak kalah penting dan berhak mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat publik dan media massa. 

Maskulinitas beracun, atau toxic masculinity dalam Bahasa Inggris, merupakan konsep yang menggambarkan karakteristik maupun atribut yang tidak sehat dan seringkali tradisional yang diasosiasikan dengan pria. Laki-laki sering didefinisikan oleh berbagai stereotip kuno dan tidak berdasar, menciptakan pemahaman tidak sehat dan tidak realistis tentang apa artinya menjadi laki-laki dalam masyarakat saat ini. Laki-laki dianggap harus bertindak maskulin, kuat, dan tangguh. Mereka tidak dinormalkan untuk menangis karena dapat membuat mereka terkesan lemah dan diharapkan agar melakukan segala sesuatu sendiri tanpa meminta bantuan orang lain.

Ekspektasi-ekspektasi yang telah diterapkan kepada laki-laki justru membuahi banyak dampak buruk. Ketika seseorang tidak mampu mengekspresikan diri mereka secara bebas dan terpaksa untuk memendam atau menyimpan semua emosi, maka mereka berisiko "runtuh" dan akan cenderung melampiaskan emosi tersebut ke arah yang kasar. Responsnya hampir selalu berupa kekerasan, terkadang diungkapkan melalui dominasi atau agresi fisik, sehingga laki-laki dianggap lebih kejam daripada perempuan. Ini dibuktikan oleh bagaimana sebagian besar tindak pidana dilakukan oleh laki-laki dan sebagian besar kejahatan (kecuali kekerasan seksual) dilakukan terhadap laki-laki.

Selain mempengaruhi perilaku laki-laki, maskulinitas beracun juga berefek pada kesehatan mental dan batin mereka. Pria jauh lebih mungkin meninggal karena bunuh diri dan overdosis opioid daripada wanita. Mereka, seperti wanita, mengalami atau menderita depresi, kecemasan, atau penyakit mental lainnya. Namun, pria jarang memanfaatkan layanan kesehatan mental dibandingkan wanita dan lebih enggan untuk mencari bantuan, terutama terkait kesehatan mental. Seringkali kita gagal mengatasi banyaknya trauma yang dihadapi kaum laki-laki dan malah menghukum perilaku mereka tanpa memecahkan masalah mendasar yang mengakibatkan adanya perilaku tersebut.

Daripada melabeli laki-laki dalam kategori tertentu, perlu disadari dan dipahami bahwa pria, sama seperti wanita, memiliki banyak sisi yang jauh melampaui peran tradisional gender mereka. Membotolkan perasaan tidak pernah menghasilkan sesuatu yang baik. Oleh sebab itu, harus diingatkan bahwa tidak ada salahnya meminta bantuan atau mengekspresikan emosi. Satu-satunya cara agar masalah maskulinitas beracun memudar adalah dengan tidak merendahkan pria ataupun menempatkan ekspektasi yang tidak realistis kepada mereka. Semuanya dimulai dari mengajari laki-laki bukan untuk "bertindak seperti laki-laki", melainkan menjadi manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun