Mohon tunggu...
Michelle Audrey Aurora Santoso
Michelle Audrey Aurora Santoso Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tragedi Sampit: Pandangan Menurut Ilmu Psikologi Sosial

28 Maret 2024   12:00 Diperbarui: 28 Maret 2024   12:06 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tragedi Sampit merupakan salah satu konflik antar suku yang paling kelam di Indonesia. Peristiwa yang terjadi pada 18 Februari 2001 ini diperkirakan telah memakan 500 korban jiwa dan ratusan ribu penduduk terpaksa kehilangan tempat tinggal mereka. Konflik antara suku Dayak dan suku Madura ini memang sudah terjadi selama puluhan tahun sejak 1972. Ketegangan antar dua suku tersebut kemudian meledak pada tahun 2001 ketika diterbitkan peraturan baru yang memberikan hak bagi warga Madura untuk mendominasi sektor ekonomi di kota Sampit. Warga Dayak sebagai penduduk asli kota tersebut lantas merasa tanah mereka direnggut, sehingga terjadilah perang antar suku yang kini dikenal sebagai tragedi Sampit.

Puluhan tahun berlalu, tentu tragedi ini masih membekas bagi Indonesia. Kita bisa  mengambil pelajaran dari tragedi yang berfokus terhadap perilaku dan konflik antar manusia tersebut. Salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang manusia adalah Psikologi. Dalam turunan ilmu Psikologi Sosial, perilaku manusia dan dinamika kehidupan sosial menjadi salah satu yang sangat disoroti. Sebagai negara multikultural, masyarakat Indonesia harus semakin memahami bagaimana cara hidup berdampingan dengan kawan yang memiliki latar belakang yang berbeda. Menjaga batasan teritorial tentu menjadi hal yang penting saat ini. Dalam ilmu Psikologi Sosial, teritorial didefinisikan sebagai bagaimana cara individu dapat menjaga area di sekitarnya. Teori ini dibagi menjadi 3 tipe: 1) primary territories, 2) secondary territories, dan 3) public territories.

Peristiwa yang terjadi antara suku Dayak dan suku Madura ini menggambarkan bagaimana suku Dayak sebagai penduduk asli kota Sampit harus berdampingan dengan suku Madura sebagai warga pendatang. Primary territories atau teritorial primer menggambarkan bagaimana pemilik asli area tersebut memiliki kontrol terhadap lahan yang menjadi miliknya. Pada kasus ini, suku Dayak merupakan pemilik asli kota Sampit. Namun, konflik mulai terjadi ketika dirasa suku Madura mulai mengambil alih area tersebut. Hal ini dapat terjadi ketika individu menganggap daerah yang bukan miliknya sebagai public territories atau teritorial publik. Public territories merupakan area tidak berpemilik, sehingga tidak ada individu yang diwajibkan mengontrolnya.

Melalui tragedi sampit ini, kita bisa belajar untuk hidup berdampingan dan saling menghormati perbedaan yang ada, dan justru menjadikannya sebagai sumber kekayaan negara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun