Mohon tunggu...
Michelle Rich
Michelle Rich Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Produktif, Bukan Gila Kerja

3 Juni 2024   20:00 Diperbarui: 5 Juni 2024   20:20 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berangkat dari pengalaman pribadi, selama bekerja, seolah merupakan sebuah kepuasan apabila bekerja lembur hingga begadang setiap harinya atau mengambil seluruh tanggung jawab sendiri karena merasa segalanya akan lebih baik dan efektif. Hustle Culture, fenomena lumrah yang terjadi di masyarakat, adalah anggapan bahwa hanya dengan bekerja keras dan mendedikasikan seluruh hidup untuk pekerjaanlah yang dapat mengantarkan seseorang menuju kesuksesan kian mengakar kuat. Namun, di balik budaya ini, tersembunyi bahaya yang dapat menggerogoti kesehatan mental dan fisik individu. Hustle Culture bukanlah bekerja secara produktif, melainkan menjadikan pekerjaan sebagai adiksi atau kecanduan. Di dalam masyarakat hal ini familiar pula dengan sebutan workaholic yaitu individu.

Melansir laman Kemenkeu Indonesia, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terbentuknya Hustle Culture:

A. Teknologi

Cepatnya kemajuan teknologi memudahkan untuk terdigitalisasinya pekerjaan. Hal ini mengakibatkan seseorang mudah mengontrol dan mengakses pekerjaannya dimana pun dan kapan pun.

B. Kontruksi Sosial

Tekanan yang didapatkan dari lingkungan sosial seperti kesenjangan pendapatan antara karyawan dengan atasan yang memicu seseorang menjadi over-work dan tuntutan keluarga

C. Toxic Positivity

Dorongan untuk tetap berasumsi positif walaupun sedang mengalami situasi tertekan. Salah satu contohnya adalah menoleransi atau bahkan pengabaian istirahat karena terlalu fokus untuk bekerja.

Herjanto (2007) memberikan pengertian bahwa produktif merupakan suatu ukuran yang menyatakan bagaimana baiknya sumber daya diatur dan dimanfaatkan untuk mencapai hasil yang optimal. Hal bisa dikatakan hasil yang optimal apabila output yang dikeluarkan paling baik, paling tinggi dan paling menguntungkan. Budaya kerja yang baik adalah budaya yang bisa memanajemen dengan baik kebutuhan akan bekerja dengan kebutuhan kehidupan personal.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) menyatakan bahwa Perusahaan dapat memilih dua skema jam kerja, yakni: 6 hari kerja masing-masing hari selama 7 jam atau 40 jam perminggu. Data BPS 2023 memberikan hasil rerata jam kerja di Indonesia masih di angka 42 jam perminggu, naik 2,4% dari Februari 2022. Perusahaan di Indonesia masih perlu mengupayakan adanya keseimbangan jam kerja ini.

Dari tinjauan data tersebut, adanya kemungkinan budaya perusahaan yang secara tidak langsung menimbulkan perilaku Hustle Culture kepada individu. Hal ini dapat meliputi pengejaran akan target perusahaan yang tidak realistis, upah yang tidak sesuai dengan beban kerja, atau lingkungan interaksi antar rekan dalam suatu institusi yang tidak sehat, dan sebagainya. Beberapa anggapan yang kerap ditemui dalam lingkup pekerjaan:

  • Karyawan yang pulang tepat waktu dianggap tidak loyal. Bekerja sesuai jam kerja dan pulang tepat waktu adalah hak semua orang. Sayangnya seringkali beredarnya sebuah "keharusan" untuk tidak mendahului senior pulang atau apabila pulang tepat waktu berarti tidak loyal pada perusahaan.
  • Perlunya berbagai macam alasan untuk pengambilan cuti kerja. Pekerja berhak untuk mengambil cuti tanpa pertanyaan intimidatif dari perusahaan. Pengajuan cuti seringkali harus sesuatu yang urgent dan situasi tak terduga. Individu yang mengambil jatah cuti untuk berlibur tak jarang mendapat pandangan negatif.
  • Dihubungi di luar jam kerja. Normalisasi untuk menghormati waktu istirahat orang lain perlu digalakkan. Individu perlu diberikan waktu supaya tidak terdistraksi dan tidak terlampau fokus hanya pada pekerjaan saja di waktu istirahatnya.
  • Bekerja di luar job description. Bahkan dalam poster lowongan pekerjaan, sering terdapat syarat dan kualifikasi yang berlebihan. Satu individu dituntut untuk mengerjakan 2-3 peran sekaligus dan jarang adanya kontribusi yang sepadan untuk individu tersebut. Terdapat juga fenomena apabila individu menolak pekerjaan tersebut maka dianggap membantah dan tidak loyal.

Budaya menciptakan perilaku. Individu seolah dikondisikan untuk berorientasi pada hasil yang "optimal" yang mengarah untuk pihak-pihak tertentu saja dan bukan untuk hasil yang mutualisme, melainkan lingkungan lainnya. Keseimbangan dengan kehidupan personal perlu menjadi pertimbangan dan pemenuhan bagi setiap individu. Istirahat merupakan hal yang produktif dilakukan. Kesehatan fisik diperlukan untuk mencapai hasil yang optimal. Pengorbanan kesehatan fisik dan istirahat untuk kerja keras dan kerja cepat bukan hal yang tepat. Gaya hidup tersebut dapat memengaruhi stamina, kesehatan emosi dan kemampuan berpikir jernih.

Dalam mengatasi hal tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan:

  • Perubahan mindset mengenai bekerja. Individu perlu kritis terhadap norma yang berlaku, fokus pada kualitas bukan kuantitas, menggali makna dan tujuan, mulai memperioritaskan work-life balance, dan berani menolak apabila melabihi batasan diri.
  • Melakukan hobi di luar pekerjaan. Alternatif lain untuk mengurangi hustle culture adalah menemukan bakat dan minat yang dikerjakan di luar pekerjaan, bersosialisasi dengan lingkungan baru, melatih kebugaran fisik dan mindfulness.
  • Mengenali batasan diri. Manusia tidak luput dari rasa lelah. Mengenali rasa lelah adalah sinyal yag dikirimkan tubuh untuk menginformasikan bahwa individu sudah mencapai tahap penurunan stamina. Selain itu, menerapkan batasan waktu, mengomunikasikan kebutuhan, dan mendelegasikan tugas bila perlu.

Hustle Culture memang menjanjikan hasil maksimal, namun mengorbankan kesehatan fisik dan mental bukanlah harga yang sepadan. Mari kita ubah mindset, temukan keseimbangan, dan ciptakan budaya kerja yang produktif dan sehat. Ingatlah, istirahat adalah bagian penting dari produktivitas. Bersama, kita ciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan suportif bagi semua individu untuk mencapai kesuksesan tanpa terjebak dalam Hustle Culture.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun