Akhirnya Amir Habibullah Khan meminta Pangeran Sirdar Nasrullah Khan putranya untuk membantunya karena dia dianggap memiliki pengetahuan agama yang lebih baik darinya. Namun Sang Putra Mahkota pun merasa dia tidak dapat memutuskan hukuman mati itu melalui keputusannya sendiri.
Maka dipanggilah 12 Mullah untuk membantunya. Setelah 12 Mullah itu berdiskusi dengan "Mullah" itu, tetap saja mereka tidak dapat memutuskan bahwa "Mullah" itu harus dihukum mati karena sekali lagi semua jawaban dari Mullah itu tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hal inipun dilaporkan kepada Amir Habibullah Khan. Namun Amir Habibullah Khan bersikeras bahwa "Mullah" itu harus dihukum mati. Bahkan Amir Habibullah Khan mengirimkan surat pernyataan yang harus ditandatangani 12 Mullah tsb yang menyatakan "Mullah"itu telah murtad dan harus dihukum mati.
Namun tetap saja mayoritas dari 12 Mullah itu kembali menyatakan bahwa "Mullah" itu tidak berdosa dan tidak bisa dihukum mati. Akan tetapi pada akhirnya ada 2 orang Mullah yang merupakan kawan dekat dari Sirdar Nasrullah Khan yang berani menyatakan bahwa "Mullah" itu telah murtad dan akan dihukum rajam sampai mati. Melalui keputusan 2 Mullah inilah maka Amir Khan menjatuhkan hukuman rajam sampai mati kepada "Mullah"itu.
Kemudian di dalam buku itu, Frank A Martin juga menuliskan bahwa dihadapan Amir Habibullah Khan, Mullah itu menyampaikan sebuah nubuatan yakni "sebuah bencana yang besar akan menimpa negri ini, dan akan membuat Amir Habibullah Khan dan Putra Mahkotanya menderita."
Lalu dituliskannya, tepat pukul 9 malam pada hari dimana Mullah itu dihukum rajam hingga wafat pada siang harinya, terjadilah badai dengan angin yang begitu kuat. Sebuah fenomena yang tidak biasa menurut penduduk disana, dan bahkan mereka semua mengatakan inilah sebuah tanda kewafatan atas Mullah itu.
Kemudian bagian menarik dari tulisan ini adalah saat Frank A Martin menuliskan setelah kejadian badai yang tidak biasa itu maka datanglah wabah Kolera yang menyebabkan kematian begitu banyak penduduk di Afghanistan. Dan seharusnya sesuai perhitungan penduduk di Afghanistan wabah Kolera tidak seharusnya datang di tahun itu karena 4 tahun yang silam telah datang juga wabah Kolera ini. Jadi wabah ini tidak seharusnya datang di tahun 1903 ini.
Sehingga Frank A Martin menuliskan lagi dan menyimpulkan bahwa apa yang terjadi setelah kematian Mullah itu di Afghanistan adalah bagian dari tergenapinya nubuatan yang dikemukakan Mullah itu sebelum hukuman rajam diterimanya tepat dihadapan Amir Habibullah Khan. Dituliskan juga olehnya bahwa wabah yang terjadi pada saat itu begitu mengerikan sehingga membuat Amir Habibullah Khan dan Pangeran Sirdar Nasrullah Khan sangat ketakutan. Ditambah lagi dengan kematian istri yang sangat dicintainya karena wabah ini, yakni istri dari Pangeran Nasrullah Khan membuat dirinya kehilangan kontrol atas dirinya karena depresi yang luar biasa.
Dituliskan lagi oleh Frank A Martin mengenai nasib 2 Mullah yang merekomendasikan hukuman mati untuk "Mullah" itu juga mengalami ketakutan yang luar biasa. "Mullah" yang telah dirajam ini adalah seorang Ulama besar dan sangat berpengaruh di Afghanistan juga memiliki banyak sekali murid. Sehingga dua Mullah hidup dalam ketakutan yang panjang, mereka takut apabila diantara begitu banyak murid-murid Mullah yang dirajam itu ada yang akan membalas dendam atas kematian Guru yang dicintainya dan memang mereka bersumpah akan membalas dendam atas kematian Mullah itu. Bahkan dituliskan juga satu diantara dua Mullah tsb pun ada yang terkena Kolera begitu parah sakitnya hingga hampir meninggal juga.
Dari mulai halaman 201-204 Frank A Martin tidak menyebutkan siapa nama Mullah itu, karena mungkin bagi dirinya bukan siapa Mullah itu namun kejadian yang dia lihat sendiri dan tuliskan itu lebih penting. Dia menulis dengan sangat obyektif berdasarkan fakta-fakta kejadian yang dia lihat dan saksikan sendiri.
Dalam tulisan ini saya akan menyampaikan siapa sebenarnya Mullah yang dirajam ini. Beliau adalah Sahibzada Abdul Latif, yang pada saat itu adalah sebagai Penasihat Kerajaan dari Amir Habibullah Khan. Bahkan posisi ini beliau dapatkan semenjak masa ayahnya yakni Amir Abdur Rahman Khan masih memegang tahta kerajaan.