Kepailitan merupakan mekanisme hukum yang penting untuk menyelesaikan konflik utang-piutang antara kreditur dan debitur, baik di Amerika Serikat maupun Indonesia. Namun, kedua negara ini memiliki pendekatan yang sangat berbeda terhadap hukum kepailitan, yang mencerminkan perbedaan budaya hukum dan kondisi ekonomi masing-masing. Di bawah ini, kita akan membahas perbandingan sistem kepailitan kedua negara dalam hal dasar hukum, proses, perlindungan terhadap kreditur dan debitur, struktur kelembagaan, dan dampaknya terhadap stabilitas bisnis.
Dasar Hukum Kepailitan: Amerika Lebih Fleksibel, Indonesia Lebih Formal
Di Amerika Serikat, hukum kepailitan diatur dalam United States Bankruptcy Code yang mencakup beberapa bab, salah satunya Chapter 11, yang memungkinkan perusahaan melakukan restrukturisasi utang tanpa harus melikuidasi seluruh aset. Dengan Chapter 11, perusahaan diberi kesempatan untuk menata ulang keuangannya di bawah pengawasan pengadilan, tetapi tetap menjalankan operasionalnya secara mandiri. Di sinilah muncul konsep debtor in possession, di mana debitur masih dapat mengelola asetnya selama proses restrukturisasi berlangsung.
Di Indonesia, dasar hukum kepailitan adalah Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). UU ini lebih condong pada kepentingan kreditur, khususnya yang memiliki hak jaminan, dibandingkan dengan perusahaan yang berada dalam kesulitan finansial. Di bawah PKPU, perusahaan diizinkan untuk melakukan negosiasi dengan kreditur, namun prosesnya relatif singkat dan kurang fleksibel, yang sering kali menyebabkan perusahaan yang tidak mampu mencapai kesepakatan harus segera dilikuidasi. Pendekatan ini lebih formal dan konservatif dibandingkan dengan sistem yang ada di Amerika Serikat.
Proses Kepailitan: Fleksibilitas di AS versus Pembatasan Waktu di Indonesia
Perbedaan utama lainnya terdapat pada proses penyelesaian kepailitan.
Di Amerika Serikat, Chapter 11 memberikan perlindungan kepada debitur melalui mekanisme automatic stay, yang menghentikan semua tindakan hukum terhadap debitur segera setelah pengajuan kepailitan dilakukan. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk memiliki waktu yang cukup guna menyusun rencana restrukturisasi yang melibatkan kreditur. Pengadilan di Amerika memberikan ruang bagi perusahaan untuk merestrukturisasi tanpa harus likuidasi segera, asalkan rencana restrukturisasi dapat disetujui oleh kreditur.
Di Indonesia, PKPU hanya memberikan batas waktu terbatas bagi perusahaan untuk mencapai kesepakatan pembayaran dengan kreditur. Jika negosiasi gagal dalam jangka waktu yang ditetapkan, perusahaan langsung dinyatakan pailit dan asetnya dilikuidasi. Selain itu, pengadilan yang menangani kepailitan di Indonesia juga menangani kasus-kasus komersial lainnya, yang menyebabkan proses kepailitan terkadang tertunda dan tidak seefisien di Amerika Serikat.
Perlindungan terhadap Kreditur dan Debitur
Sistem di Amerika Serikat dirancang untuk melindungi debitur dan memberi kesempatan bagi mereka untuk bangkit kembali. Mekanisme automatic stay menghentikan semua tindakan hukum dan upaya penagihan utang oleh kreditur setelah pengajuan kepailitan, yang memberi debitur waktu untuk merestrukturisasi tanpa tekanan dari pihak luar. Dalam skema Chapter 11, debitur dapat terus mengelola aset dan menjalankan usahanya, yang sangat membantu dalam menjaga keberlangsungan bisnis.
Sebaliknya, di Indonesia, PKPU memberikan prioritas kepada kreditur, terutama kreditur separatis yang memiliki hak jaminan. Hak ini memungkinkan mereka untuk mengeksekusi aset yang dijadikan jaminan, yang sering kali menguntungkan kreditur besar. Kreditur tanpa jaminan (kreditur konkuren) biasanya hanya menerima pembayaran setelah kreditur separatis dilunasi. Kondisi ini membuat kepailitan di Indonesia cenderung lebih berpihak pada kreditur dan kurang memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk memulihkan usahanya.