Pada prinsipnya, satu-satunya penyebab tidak terealisasinya perdamaian adalah ketidak-adilan. Di negara manapun, selama manajemen kenegaraannya dijalankan secara tidak adil, pasti akan timbul konflik yang menodai harmonisasi kehidupan masyarakatnya. Termasuk di Indonesia sendiri, jika tidak terjalin perdamaian antar masyarakat, maka bisa ditebak bahwa pasti ada hukum yang dijalankan secara tidak adil.
Kita bisa mengevaluasi bagaiamana kondisi kehidupan masyarakat Indonesia sejak tahun 1945 sampai sekarang. Apakah keadilan sudah berjalan baik dalam kehidupan masyarakat kita? Nyatanya, hampir setiap tahun kita dihadapkan dengan permasalahan yang cukup rumit untuk diselesaikan. Meskipun di Indonesia telah dirumuskan pasal-pasal hukum untuk ditegakkan, tetapi di mana letak keadilan untuk semua bangsanya?
Sejenak mari kita mengingat kasus yang menimpa Nenek Minah pada tahun 2009 silam. Meskipun yang dia hanya mencuri 3 butir kakao, putusan hukum untuk memenjarakannya cepat dijatuhkan karena dia hanyalah masyarakat miskin dan lemah, tidak mampu untuk membayar pengacara agar dibela. Sementara kasus yang lebih baru seperti yang menimpa Setya Novanto, yang terduga melakukan korupsi miliaran rupiah diproses hukum secara berbelit-belit. Drama-drama yang dia lakonkan masih mudah dimaafkan oleh pihak pengadilan.
Selain itu, ada kasus pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diputuskan secara sepihak tanpa melalui proses pengadilan. Sebagaimana dikutip di kompas.com pada tanggal 12 Maret 2016, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 yang berisi pembubaran PKI. Menurut Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, Pembubaran ini hanyalah upaya Soeharto mengalihkan atau merebut kekuasaan dari Seokarno, karena PKI adalah pendukung Soekarno.
Hal yang sama juga menimpa organisasi Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI). Dalam proses pembubarannya, organisasi ini dianggap mempunyai ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Setelah mendapat putusan bubar, segala macam gugatan penggugat ditolak dengan alasan pemerintah telah dengan baik mempertimbangkannya. Di sini kita dapat melihat bahwa penolakan gugatan tersebut merupakan bukti bahwa antara pengadilan dan ormas HTI tidak dimobilisasi dialog-dialog secara sempurna. Maka wajar jika pengikut ormas ini mengaku 'tidak adil'.
Kasus-kasus di atas menandakan bahwa ada yang belum beres dalam penegakan keadilan berdasarkan rumusan hukum di negara kita. Ketika kasus-kasus besar bisa disembunyikan dengan kompomi, kekuatan media dan uang, maka itu berarti penegakan hukum negara kita masih lemah dan perlu dievaluasi.Â
Selama ini kita belum bisa menegakkan prinsip dasar keadilan seperti yang dicetuskan oleh J. S. Mill, yaitu semua orang harus mendapatkan hak secara merata, artinya suatu hal dilakukan untuk semua. Dalam hal ini, tidak ada sesuatu yang spesial untuk beberapa pihak.
Telah banyak kritikan-kritikan yang muncul dikemas dalam bentuk tulisan, film, dan meme atas tidak tegaknya keadilan dalam penegakan hukum di negara kita.Â
Sebuah film berjudul "Siapa Di Atas Presiden" garapan Hanung Bramantyo dan Rahabi Mandra memberikan singgungan pedas bahwa kita belum berani menegakkan hukum. Kritik-kritik lainnya bertebaran di berbagai media sosial seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, dan lainnya. Akan tetapi, tidak ada perubahan yang terjadi. Seolah-seolah kritikan-kritikan tersebut dianggap sebagai "angin lewat" saja.
Padahal semua itu adalah kontribusi berarti untuk memperbaiki manajemen negara kita. Masyarakat termasuk antusias mengusulkan aspirasi dengan kenyamanan semua penduduk yang hidup di Indonesia. Mereka berusaha menjadikan media sebagai "jalan tol" untuk berdialog dengan pemerintah. Sangat disayangkan jika hal ini tidak dihiraukan.
Sebagai warga negara yang sadasr, kita dituntut untuk segera mengambil tindakan. Jika tidak bisa dengan memanfaatkan orang lain, maka mulailah dari diri kita sendiri untuk bertindak adil. Baik dalam hal kecil, apalagi besar karena dampaknya juga besar terhadap atmosfer kehidupan sekeliling kita.