Mohon tunggu...
Gaya Hidup Pilihan

Naik Kendaraan Umum? Kenapa Tidak?

26 Maret 2016   16:03 Diperbarui: 26 Maret 2016   19:39 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Doc: Infojakarta.net)"][/caption]Siapa sih yang tidak tahu betapa padatnya kota Jakarta? Menurut berbagai sumber, baik sumber lokal maupun luar, Jakarta dinilai paling macet se-dunia. Ini telah dibuktikan oleh studi yang dilansir Castrol Magnatec Stop-Start (2014). Jakarta berdiri di peringkat teratas dengan 33.240 kali peristiwa mengerem dalam setahun, per km nya. Sungguh miris nasib kota yang menyandang status “Ibukota” ini.

Peter Yan, seorang supir taksi lulusan Jerman bidang teknik sipil, mengatakan bahwa sistem lalu lintas lah yang bertanggung jawab atas kemacetan ini. Ia mengaku kepadatan terjadi di sekitar perempatan, dimana pengendara harus memperlambat laju kendaraan mereka karena lampu merah.

Tapi kalau dipikir-pikir, penyebab utama banyaknya kendaraan pribadi adalah hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sistem transportasi umum di Ibukota. Dari survei yang saya lakukan terhadap sebagian siswa SMA, 54 persen dari mereka memilih untuk tidak memakai kendaraan umum. 33 persen dari sisanya itu pun jarang-jarang pakainya.

Alasan yang diberikan bervariasi, namun intinya sama. Yang pertama adalah soal kenyamanan. Ya. Banyak yang merasa sesak dan melelahkan berada di antara kerumunan orang yang tak dikenal. Banyak juga yang mengeluhkan akses yang tidak mudah dijangkau. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi yang berkembang pesat telah membentuk diri kita yang ingin segalanya serba mudah dan instan. Sebagai contohnya, mereka memilih untuk naik mobil pribadi daripada harus merepotkan diri transit dari satu kendaraan ke kendaraan lainnya.

Ketidaknyamanan itu juga diperjelas oleh standar sistem transportasi umum yang kita miliki saat ini. Jika kita bandingkan bus rapid system (BRT) Jakarta dengan  Guangzhou, Cina, akan terlihat perbedaan yang signifikan. Tercatat bahwa jalur busway di Indonesia adalah jalur terpanjang di dunia (jika disatukan), jauh melebihi Cina. Mirisnya, BRT Tiongkok itu dapat mengangkut 27.000 penumpang (350 bis) per jam per trayek. Angka ini 8 kali lipatnya dari BRT Jakarta  yang hanya mampu melayani 3.400 penumpang (40 bis) per jam per trayek. Inikan kurang efisien. (Fardiansyah A., 2015)

Tidak hanya itu, kinerja Commuter Line dinilai masih kurang efektif. Saya mewawancarai seorang guru ekspatriat mengenai hal ini. Ia turut berkomentar mengenai kinerja KRL yang sangatlah padat di jam sibuk. Dia menilai kurangnya gerbong dan unit kereta ini perlu dibenahi oleh pihak manajemen PT KCJ. Dia juga mengaku sering melihat kendaraan umum tidak layak pakai berlalu-lalang di ibukota, seperti bis Transjakarta yang sudah berumur, angkot yang kumuh, metromini yang tidak layak jalan, dan angkutan lainnya yang harus segera dikandangkan.

Belum lagi segi keamanan yang tidak mau kalah memperkeruh suasana. Tidak sedikit orangtua yang mengkhawatirkan tingkat kriminalitas di tempat umum. Ya. Penculikan, perampokan, pelecehan seksual dan hal-hal negatif lainnya marak menimpa kalangan muda, apalagi yang tidak tahu jalan. Oleh karena itu, orangtua yang berpenghasilan menengah ke atas lebih memilih untuk membayar supir untuk menjaga anak mereka.

Memang tidak salah untuk berkata demikian. Akan tetapi, kendaraan umum juga banyak sisi positifnya. Salah satu guru yang saya wawancara justru mendukung penuh penggunaan kendaraan umum. Baginya, perjalanan yang ia tempuh dengan bus Transjakarta, bus pengumpan dan Commuter Line, sama sekali tidak melelahkan dibanding saat ia mengendarai motornya di dalam kemacetan.

Dia menegaskan bahwa dirinya bisa memejamkan mata atau berpikir beberapa saat sebelum sampai. Hal ini tidak mungkin dilakukan saat ia sedang berkendara. Ia juga menyebut beban stress yang ia derita waktu berkendara. Semakin hari, berada di daerah macet hanyalah membuatnya emosional dan berpikiran tertutup. Sedangkan di dalam kereta, ia dapat melihat tingkah laku pengguna kereta lainnya yang cukup menghiburnya sekaligus membantunya mencari inspirasi.   

Dulu saya sendiri hampir tidak pernah pakai kendaraan umum. Ini disebabkan oleh berbagai alasan. Pertama, saya masih memiliki akses kendaraan pribadi untuk bepergian ke sekeliling Jakarta. Kedua, saya memang kurang suka untuk jalan-jalan sendiri. Terakhir, saya tidak ingin berlama-lama dengan orang yang saya anggap asing. Nah, bagi kalian Kompasianers yang juga berada di posisi saya, kalian tidak perlu khawatir, karena saya sendiri telah mencoba kendaraan umum di Jakarta seperti Transjakarta, Commuter Line, bus pengumpan, dll. Berdasarkan  hasil observasi saya, pengalaman yang saya rasakan di tempat umum tidaklah buruk. Memang belum bisa dibilang 100% memuaskan, tapi setidaknya sudah dilakukan banyak perubahan nyata oleh pemerintah Jakarta.

Wajar kalau kita semua trauma dengan kondisi angkutan umum usang seperti Metromini dan Kopaja yang panas, bau keringat, bau asap kendaraan dan banyak pencopet itu. Tapi, itu semua tinggal kenangan saja. Karena Om Ahok telah berupaya untuk merevitalisasi dan menyortir kembali semua kendaraan umum usang yang melintas di Ibukota. Semua bus baik yang menuju atau keluar Jakarta akan berada di bawah naungan PT. Transjakarta. Ya. Dengan begitu, kita cuma perlu merogoh kocek sebesar Rp. 3.500,00 untuk perjalanan antar kota di Jabodetabek!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun