Bukan, bukan mengemis penghargaan. Bukan juga sakit hati; hanya kasihan. Negara yang digadang-gadang memiliki warga negara yang ramah hanya ramah di depan orang asing, dengan sesamanya?
Tentu banyak dari kalian yang sering mendengar tentang narasi tenaga kerja Indonesia lebih dihargai di luar negri." Saya rasa kalian pasti juga bosan mendengar hal tersebut dan tenang saja, ini bukan soal tenaga kerja Indonesia. Ini soal narasi yang sepertinya hanya terjadi karena Inferiority Complex[1] yang terjadi di Indonesia: Keramahan dan kesopanan warga Indonesia, entah itu terhadap WNA (atau mungkin lebih tepatnya WNA Kulit Putih, ya?) atau orang-orang yang dirasa lebih tinggi jabatannya atau derajatnya (sayang sekali budaya patron-klien masih sangat kental di Indonesia, dapat dilihat pula kekentalannya di banyak universitas negri di Indonesia dengan dalih mengajarkan sopan santun." Padahal kenyataannya hanya mengajarkan kita untuk memuja dan menghormati kekuasaan yang lebih tinggi.
Tulisan ini soal masyarakat Indonesia yang minim rasa penghargaan terhadap sesamanya, atau mereka yang dianggap menyandang status lebih rendah." Tidak perlu jauh-jauh mengkritik pemerintah yang tidak menghargai karya anak bangsa, tanyalah kepada diri sendiri, sudahkah kalian menghargai orang-orang di sekitar? Semua lapisan masyarakat berhak dihargai dan wajib untuk menghargai orang lain. Lapisan masyarakat di sini bukannya mengaminkan kesenjangan sosial yang ada maupun berbahagia atas klasifikasi masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial tertentu, melainkan mengakui adanya perbedaan kelas sosial tersebut sehingga...
Kontrasnya Rasa Penghargaan di Indonesia dengan Negara Lain
Di satu sisi saya agak menolak membanding-bandingkan Indonesia dengan negara lain karena dalam membandingkan, kita menggunakan parameter tertentu, misalnya dalam membandingkan negara, kita akan melihat berbagai aspek yang bisa dikaji seperti kekuatan ekonomi, kestabilan politik, jumlah penduduk, besarnya daerah, pendapatan per kapita, dan masih banyak lagi.
Dalam setiap sektor pun mereka tentu dikaji menggunakan angka-angka yang nyata, menggunakan skala tertentu sehingga dapat mempertanggungjawabkan penilaian mereka. [2] Namun, dalam proses pembandingan seperti ini, akan banyak aspek-aspek lain yang tidak bisa dinilai menggunakan angka semata (atau setidaknya tingkat akurasinya tidak bisa dipertanggungjawabkan).
Dalam tulisan ini, saya akan membahas norma kesopanan dasar yang seharusnya, meskipun norma kesopanan dipraktekkan secara berbeda-beda di seluruh dunia, dimiliki oleh setiap orang di dunia: Rasa terima kasih.
***
Beberapa tahun yang lalu saya mendapatkan kesempatan untuk ikut Kursus Musim Panas di Jerman yang diikuti oleh 70 anak muda dari 14 negara: Ukraina, Burkina Faso, Kosovo, Indonesia, Taiwan, Skotlandia, Kanada, Brazil, Peru, Kolumbia, Meksiko, Spanyol, Montenegro, dan Islandia. Pada Minggu ketiga, kami mengunjungi Museum BMW di Wolfsburg, dan akan memasuki ruangan tertentu dari pameran yang terletak di ruangan terbuka. Saat itu saya ada di barisan paling depan karena sedang berbicara dengan teman saya yang berasal dari Meksiko dan karena sadar ada pintu di depan kami, saya bergegas untuk maju ke depan, membukakan pintu, dan menahannya supaya orang lain bisa lewat. Sederhana bukan?
Apa yang ada di dalam benak kalian ketika ada orang membukakan pintu untuk kalian? Di Indonesia saya seringkali melihat orang yang melakukan hal tersebut adalah penjaga pintu atau satpam (mungkin juga ada pekerjaan lain yang juga melakukan hal tersebut). Akankah kalian berterima kasih?
Boleh saja kita menganggap membukakan pintu bagi orang lain adalah hal yang sepele, tapi haruskah kita juga menganggap sepele orang yang membukakan pintu tersebut? Haruskah kita juga memandang rendah mereka?