Beberapa waktu lalu saya mulai membaca buku History of God yang dituliskan oleh Karen Armstrong. Dalam pendahuluan, beliau menuliskan bagaimana saat kecil ia akan mengikuti kata orang tuanya untuk ke gereja dan beribadah dengan taat. Saat waktu mulai berlalu ia semakin mempertanyakan untuk apa ke gereja dan beribadah?Â
Pertanyaan yang kurang lebih sama muncul dalam benak saya sekitar 5 tahun yang lalu. Kenapa aku beragama? Kenapa ada agama? Kenapa harus ada Tuhan? Tuhan itu siapa? Apa arti beragama? Kenapa manusia mempercayai agama? Dan lain sebagainya.
Setelah pikiran saya membombardir dirinya sendiri dengan pertanyaan yang notabene tabu untuk dipertanyakan di lingkungan sosial kita, saya menguburkan pertanyaan itu dalam-dalam sampai saya bisa mendiskusikan hal tersebut dengan orang yang (mungkin) bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Seiring waktu saya berusaha mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut melalui literasi, diskusi, dan beberapa kali asumsi. Setiap sebagian kecil dari satu pertanyaan terjawab, semakin berkembang pula pertanyaan itu karena kompleksitas dari tema Tuhan dan agama ini.Â
Agama dan Tuhan mencakup berbagai hal dimulai dari teologi, filsafat, sejarah, antropologi, sosiologi, budaya, dan masih banyak lagi. Namun, dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas setidaknya Abrahamic Religions dalam konteks filsafat, teologi, dan sejarah.
Dalam mencari jawaban-jawaban, saya sekali dua kali menemukan bahwa ada beberapa similaritas yang ada pada agama Islam, Katolik/Kristen, dan Yahudi tanpa menyadari bahwa mereka memiliki akar yang sama, Nabi Abraham (Muslim di Indonesia menyebutnya Ibrahim) dengan tentunya versi cerita yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Yang kemudian menjadikan pertanyaan saya lebih menarik adalah: Mengapa bisa ada agama yang berbeda dari satu sumber yang sama? Dan mengapa agama itu kemudian bercabang-cabang lagi? (Aliran-aliran yang berbeda)
AGAMA SIAPA YANG PALING BENAR?
Sampai detik ini pertanyaan tersebut hanya terjawab oleh saya pada taraf asumsi, yaitu kebebasan manusia menginterpretasikan sejarah dan kebebasan manusia untuk percaya menjadikan hal tersebut mungkin.Â
Namun, yang menggelikan bagi saya adalah sebagian orang berlomba-lomba membenarkan agamanya sendiri tanpa tahu apa yang harus dibenarkan dan bagaimana membenarkannya. Agama sendiri merupakan kepercayaan, hapuskan kepercayaan Anda dan seluruh orang yang percaya terhadap agama/kepercayaan tersebut, maka agama tersebut akan hilang. Mengacu pada salah satu buku Yuval Noah Harari yang berjudul Homo Deus, agama hanya sekadar realitas intersubjektif yang hadir hanya karena kepercayaan kolektif.Â
Lantas, agama siapa yang benar? Apakah agama saya? agama Anda? agama mereka? Jika bertanya seperti itu... perlu lagi kita bertanya, apa itu kebenaran? Dalam parameter apa kita bisa menyebut agama itu benar? Apakah bila kita bisa masuk surga dengan agama tertentu? Bila seperti itu, bukankah surga dan neraka, setan dan malaikat, dan bahkan agama sendiri, merupakan konsepsi manusia?Â
Apakah agama sendiri lebih penting dari sisi humanitas dan moralitas yang dimiliki manusia sehingga, sesama manusia harus terpisahkan karena memercayai agama lain? Bukankah salah satu fungsi agama adalah kompas moral? Menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk? Atau kompas tersebut hanya berlaku untuk sesama komunitas, maka berperilaku buruk terhadap yang tidak seagama pun tidak masalah?
Jika mengacu kepada kitab-kitab suci yang dimiliki tiap agama, bagaimana pula kita bisa menjustifikasi setidaknya kepastian dari terjemahan dari kitab tersebut, mengingat bahwa kitab-kitab yang kita pegang sekarang merupakan hasil dari interpretasi penerjemah zaman dahulu yang pastinya tidak luput dari kesalahan?