Mungkin dulu kita yakin Tuhan itu tidak ada/ada, tapi kok semakin kita bertambah umur, makin susah buat kita untuk yakin dengan salah satu statement tersebut. Kenapa ya?
Kita datang dari background family yang berbeda-beda. Ada yang dari kalangan keluarga yang relijius banget, ada juga yang dari sisi kebalikannya-- datang dari kalangan keluarga yang sekuler banget, yang praktik keagamaannya sedikit atau bahkan nol sama sekali.
Progress sains yang lagi pesat banget dalam beberapa dekade terakhir ini membuat banyak orang yang akhirnya memilih untuk membuka pikiran pada argumen, "mungkin memang Tuhan sedang/sudah tidak relevan di jaman ini.". Dan dari banyaknya peristiwa politisasi agama di Indonesia akhir-akhir ini yang mungkin kurang berkenan pada kalangan tersebut, ngga heran banyak orang yang akhirnya memilih untuk menjauh dari religi dan praktiknya.
Di lain sisi, ada juga mereka yang justru berangkat dari sisi non-believers yang pelan-pelan mulai mempertimbangkan untuk buka pikiran pada keimanan dan Tuhan. Entah didasari dari mereka yang lagi mempelajari Jungian Psychology, nonton videonya Jordan B. Peterson, atau bahkan didasari dari pengalaman pribadi sendiri yang ada hubungannya dengan metafisika ke-Tuhanan. Magis.
Sains dengan logikanya, religi dengan imannya, merupakan dua tebing kokoh yang ngga lepas dari peradaban manusia. Kalau ngga ada agama/system of beliefs--- mungkin, manusia 12 ribu tahun lalu ngga akan bikin kuil Gobekli Tepe di Turki. Butuh dedikasi dan sistem kerja yang irrational untuk bisa ngontrol orang segitu banyak dalam jangka waktu yang sangat panjang untuk mengerjakan one-goal focused project macem kuil itu.
Dan kalau ngga ada sains dan pemikiran empiris (thanks Nicholas Steno!), ga akan bisa manusia terbang pake pesawat-- dan ngga ada tuh ceritanya manusia bermimpi buat ngirim Voyager keluar dari Tata Surya. Kalau ngga ada sains juga mungkin manusia masih percaya kalau bumi itu datar. (eh ya ampun-- ternyata masih ada yang percaya ya hehe).
Doi menyadari kalau sains sangat berguna untuk dunia nyata (dunia natural), dan ilmu sains bisa datang dari siapa saja, dari kalangan yang percaya Tuhan maupun tidak. Kedengerannya pernyataannya dia biasa aja buat sekarang, tapi pada jamannya --- bombastis sekali. Dan terlepas dari tulisannya yang ditulis dari sudut pandang relijius, Summa Theologica adalah salah satu pembanding kalau masalah religi ini bukanlah hal yang baru, ataupun taboo untuk dipikirkan.
Kembali lagi ke jaman sekarang--- saya pribadi mendengar dari banyak orang di lingkaran sosial saya yang merasakan manfaat praktik keagamaan yang mereka jalani dalam hidup mereka, dan saya bisa merasakan kejujuran di opini mereka karena saya hidup ditengah-tengah orang-orang ini. Tapi sayangnya, ngga jarang juga kita melihat konflik di grup chat keluarga besar, di grup chat alumni, atau di grup chat besar manapun yang ada konflik dari topik agama didalamnya. "Berantem" agama dari yang berbeda total seperti Islam dan Nasrani, ataupun yang beda liturgi/fikih semacam Katolik dan Kristen, NU dan Muhammadiyah udah jadi makanan sehari-hari buat banyak orang Indonesia.
Sekarang, adakah kesimpulan yang faktual dari topik pertanyaan ini? Menurut saya, ngga akan pernah ada satu jawaban yang bisa menjawab dan memuaskan ekspektasi banyak orang. Dan faktanya, pemahaman dan kepercayaan seseorang akan berubah/ter-update seiring dengan template perjalanan hidup mereka. People change, sedikit demi sedikit ataupun drastis, terlepas dari mereka mau mengakuinya, atau tidak.