Kopi yang kubuatkan kemarin pagi mungkin agak pahit. Yang pasti kopi itu bukan racun untuk membunuh sebuah ketabahan. Kopi itu hanya bulir-bulir embun pagi sehijau daun untuk secarik ketabahan. Aku memberinya dengan asa sebingkis pagi yang hendak beranjak pergi tentu tanpa hati-hati.
Ada jeritan setelah tegukan pertama yang sengaja kita acuhkan. Tetapi itu bukan berarti kita abaikan. Kita masih meramu dengan pena keadilan. Mungkin akan menjelma purnama. Dan gelak tawaku hanyalah undangan kepadamu. Ajakan berdendang di bawah purnama yang mungkin dapat kita raih.
Semua orang hidup dari ketakutan. Ketakutan bukanlah malaikat maut berpakaian malam yang hitam pekat. Dan kita tidak sedang menyangkal kematian. Kita sedang bercanda ria dengannya, mungkin.
Malam tak perlu mengunjungi matahari. Bulan kekasihnya selalu setia menemaninya. Jangan menghardik malam tetapi cumbulah dia. Dan ajaklah dia menjadi kekasih yang selalu memberi jalan kepada pagi.
Aku akan selalu menyunguhkan puisi yang larut dalam secangkir kopi kepadamu. Atau mungkin aku akan menjelma menjadi semua puisimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H