Mohon tunggu...
Michael D. Kabatana
Michael D. Kabatana Mohon Tunggu... Relawan - Bekerja sebagai ASN di Sumba Barat Daya. Peduli kepada budaya Sumba dan Kepercayaan Marapu.

Membacalah seperti kupu-kupu, menulislah seperti lebah. (Sumba Barat Daya).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebiasaan Mempertanyakan Lebih Dahulu Sebelum Menerima Sesuatu Hal

21 Mei 2020   08:43 Diperbarui: 21 Mei 2020   08:40 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Berharaplah, sebab harapan yang akan menjagamu tetap hidup". Banyak orang langsung percaya kepada nasihat ini. Apa lagi bagi mereka yang sedang berada dalam kesulitan hidup. Tentu tidak kurang banyak juga yang berkat nasihat ini menjadi tidak putus asa dan tetap melanjutkan hidupnya. 

Namun, ketika kita mempertanyakan dalam diri sendiri nasihat tersebut sebelum menerimanya sebagai kebenaran, tentu akan membantu kita untuk semakin dewasa dalam pemikiran dan lebih matang dalam menjalani hidup ini.

Setidaknya kita bisa ajukan pertanyaan-pertanyaan seperti ini. Bagaimana kepercayaan akan harapan bisa menjaga hidup? Bagaimana sesuatu yang tidak konkret dapat berpengaruh terhadap praktik kehidupan yang penuh dengan pergumulan dengan materi? Bagaimana sesuatu yang ideal seolah-olah menjelma hal faktual, semisal dari lapar menjadi kenyang tanpa menyatap sesuap nasi?

"Sesama adalah cermin diri kita". Mendengar kalimat itu, rame-rame orang percaya akan konsep tersebut sebagai suatu kebenaran paling hakiki. 

Di satu sisi, kita dituntut memperlakukan sesama sebaik bagaimana kita ingin diperlakukan. Sampai di batas itu orang berhenti berpikir lebih jauh. Karena maknanya dirasa sudah ditemukan secara tuntas. Dari titik itu, orang enggan mempertanyakan lebih jauh nilai yang terkandung dalam kalimat tersebut.


Kita sudah biasa terkondisi dalam situasi yang mudah mengiyakan apa yang sudah disepakati dan disetujui oleh banyak orang. Orang tidak sadar efek lain dari konsep tersebut adalah membatasi keajaiban-keajaiban baru yang bisa saja lahir dalam diri kita. 

Kita sudah terlanjur mengurung keajaiban tersebut dalam imej orang lain. Kita digiring untuk menjadi mirip seorang dengan yang lain. Padahal kita bisa saja lebih baik dari apa yang orang lain bayangkan.

Jelas sekali bahwa mempertanyakan segala sesuatu sebelum menerima, menyetujui dan menerapkannya dalam hidup kita belum menjadi kebiasaan orang-orang di Indonesia. Namun yang jelas mempertanyakan sesuatu itu bukan dosa dan juga bukan suatu kesalahan yang hakiki sejauh tidak merugikan orang lain. 

Masalahnya adalah warga +62 (Indonesia) bertumbuh dalam aroma didikan yang menempatkan sikap mempertanyakan segala susuatu sebagai sesuatu yang "asing" untuk diterapkan. Bahkan seorang manusia Indonesia sudah terkondisi dalam situasi seperti itu sejak masih kanak-kanak hingga beranjak tua dan mati.

Tentu saja persoalan itu bukan terjadi di Indonesia saja tetapi hampir di seluruh dunia. Namun, karena kita hidup di bumi Indonesia maka ada baiknya kita membahas persoalan ini dengan lebih menyoroti apa yang terjadi di Indonesia saja.

Biasanya anak yang suka mempertanyakan segala sesuatu terlebih dahulu sebelum melakukan apa yang diminta untuk dikerjakan oleh orang yang lebih tua akan dinilai sebagai anak yang kurang ajar. Tidak heran jika konsep pendidikan di Indonesia lebih bernada mendikte. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun