Mohon tunggu...
Michael D. Kabatana
Michael D. Kabatana Mohon Tunggu... Relawan - Bekerja sebagai ASN di Sumba Barat Daya. Peduli kepada budaya Sumba dan Kepercayaan Marapu.

Membacalah seperti kupu-kupu, menulislah seperti lebah. (Sumba Barat Daya).

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Perempuan yang Pergi Bersama Kata-katanya

29 September 2019   08:26 Diperbarui: 29 September 2019   20:52 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: cyworld/byerkena

Kisah kita terlahir dari persetubuhan kata-kata. Begitu katamu tiap kali kita bertemu. Aku masih ingat persis kapan kisah kita dimulai.

Waktu sudah senja saat itu. Dua hari setelah kedatanganku yang pertama ke rumahmu. Engkau berkata lirih di dekatku sembari menyuguhkan secangkir teh hangat.

Jika engkau bertandang lagi ke rumahku suatu waktu. Sebaiknya periksa dulu minuman yang kusuguhkan. Kadang-kadang yang kusuguhkan bukanlah teh atau kopi. Tetapi secangkir rindu yang akan membuat hatimu sulit lelap.
Benar saja. Setelah itu aku makin rajin bertandang ke rumahmu.  

Setelah jadian, engkau suka menggodaku dengan manja. Aku merindukan langit terbuka bertabur bintang-bintang.  Kamu adalah langit itu.  Sama seperti waktu kita berbaring bersama di rerumputan sambil memandang bintang gemintang. Begitu katamu sambil mengerlingkan mata.

Ketika sama-sama asyik menatap hujan yang jatuh. Engkau senang berbisik kepadaku begini. 

Aroma hujan,  bau tanah basah dan wangi rumput liar membangkitkan kenangan tentang kita.  Anehnya lagi,  jumlah hujan yang jatuh sebanyak rindu yang kian mekar ini, tdk dapat dibendung. Katamu sembari melempar senyum manja.

Ketika aku sedang asyik membaca buku. Engkau suka sekali menatap mataku. Ketika kutanya mengapa. Katamu, dalam menatap matamu, kata-kata adalah batu, susun menyusun membangun rumah hari depan kita tanpa kecemasan.

Jika awal hubungan kita dimulai dari persetubuhan kata-kata lewat pembicaraan singkat. Kita menutupnya dengan diam. Hanya sebuah pesan kecil pada kertas putih yang pucat yang menutupnya. Engkau menulis begini. 

Awan adalah cinta. Hujan merupakan air mani yang tercecer. Bumi adalah rahim yang menerima air mani dan melahirkan kehidupan.
Jika engkau berdiri di puncak maka jangan lupa melamunkan hasrat tentang kebaikan.

Itulah kata-kata terakhir pertemuan kita. Dua tahun setelah menyelesaikan studiku di negeri seberang, kita tak pernah bertemu apalagi saling menyapa. Engkau sudah milik orang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun