Penyimpangan atas kriteria pembagian tugas ini bisa terjadi ketika suami mengklaim dirinya sebagai seorang yang bertanggungjawab penuh dalam menghidupi keluarga. Alhasil, ia merasa berkuasa dalam menentukan segala sesuatu. Hal inilah yang menjadi sumber konflik yang berujung pada terjadinya kasus KDRT.
KDRT bukanlah kasus yang terencana dan terorganisir. KDRT yang sering terjadi adalah suatu bentuk spontanitas tak terkontrol atas suatu situasi tertentu. Maka, alternatif utama untuk mencegah tindak kriminal ini, yakni kembali kepada kesadaran diri sendiri. Solusi lainnya yakni, menjalin dialog antar pribadi. Selain itu, hendaknya kita berusaha untuk kembali kepada apa yang menjadi nilai luhur dari budaya patriarki itu sendiri. Keluhuran budaya patriarki itu sendiri antara lain: saling menghargai antarpribadi (suami-istri), sikap saling percaya akan tugas dan kewajiban masing-masing, dll.
Selain itu, dengan adanya Undang Undang no 23 tahun 2004 atau yang dikenal UU PKDRT, bisa menjadi pedoman untuk membina suatu kehidupan rumah tangga yang harmonis dan terhindar dari kasus KDRT. Pasal 1 ayat 1 undang-undang ini, berbunyi: "Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga".
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa keluarga adalah sebuah ruang privat maka dalam pelaksanaannya undang-undang ini, tidak boleh melampaui ruang privat itu. Tidak semua hal dalam rumah tangga bisa diatur oleh undang-undang.
Undang-undang dapat berfungsi, sejauh ia mengatur kehidupan warga Negara dalam sebuah ruang publik. Dalam artian ini, Negara juga bisa turut campur tangan apabila terjadi persoalan dalam keluarga, dimana masalah intern keluarga tersebut dapat mengganggu wacana kehidupan ruang publik dan melanggar HAM.
Sudah saatnya orang-orang sadar untuk kembali kepada nilai luhur yang terkandung dalam budaya patriarki dan tidak melakukan penyimpangan atas nilai-nilai mulia budaya patriarki. Undang-undang penghapusan KDRT jangan hanya sekadar dilihat sebagai alat-alat untuk menakut-nakuti, tetapi harus dilihat sebagai alat yang menegaskan agar orang-orang tidak melakukan penyimpangan atas nilai luhur budaya patriarki. Dengan kesadaran baru ini, diharapkan angka kasus KDRT semakin berkurang bahkan bila perlu hilang dari dalam kehidupan berumahtangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H