Pada pagi yang sedikit kusam. Awalnya, matahari mulai menanjak perlahan. Semesta sedang asyik bercanda. Lalu jatuh setetes embun di ingatanmu. Merasukimu dengan kerinduan. Memang rasa rindu itu tidak lebih tua dari langit dan tidak lebih muda dari asap yang mengepul di dapur. Engkau rindu kenangan manis yang engkau sendiri tak tahu apa itu. Di tengah gundahmu. Engkau tak sadar bahwa engkau sendiri adalah kerinduan bagi sosok lain. Mungkin setelah saat ini kita masih akan saling merindukan.
***
Tepatnya tiga hari lalu. Di siang  yang agak mendung tepat dua meter dari persimpangan. Aku duduk di emperan toko. Engkau berlalu agak tergesa, tanpa sengaja menjatuhkan secarik kertas. Lalu menghilang di tikungan. Setelah kupungut. Isinya begini. Mari bertani rindu di lampu Aladin. Siapa yang tahu jika Aladin adalah petani rindu. Tanpa kita sadari, saat musimnya tiba, kita akan menuai cinta. Ah ternyata engkau adalah seorang gadis penyair atau mungkin itu adalah kertas milik temanmu yang terselip pada buku yang engkau bawa. Aku tak peduli. Intinya kertas itu engkau yang membawanya.
***
Barusan sore tadi. Sedap aroma kopi robusta yang mamamu suguhkan masih membekas lekat di indra penciumanku. Merayap masuk ke dalam kepalaku memainkan imajinasi kecil. Ternyata aku sedang digoda tentang suguhan kopi senikmat itu seumur hidupku oleh anak gadisnya. Dan itu sepertinya tergambar jelas pada dasar gelas setelah seruput terakhirku. Baru kusadari. Anak gadisnya ternyata kamu. Iya kamu yang menjatuh selembar kertas tentang Aladin, yang membangkitkan rindu di tepi pagi dan yang tersenyum manis di depan pintu rumahmu sebelum larut dalam nikmatnya kopi robusta.
***
Siapa yang tahu kalau benar Aladin adalah petani rindu yang mempertemukan kita.