Mohon tunggu...
Michael D. Kabatana
Michael D. Kabatana Mohon Tunggu... Relawan - Bekerja sebagai ASN di Sumba Barat Daya. Peduli kepada budaya Sumba dan Kepercayaan Marapu.

Membacalah seperti kupu-kupu, menulislah seperti lebah. (Sumba Barat Daya).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Utilitarianisme dalam Keseharian

20 Mei 2019   21:38 Diperbarui: 20 Mei 2019   22:00 5786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membincang paham utilitarianisme berarti membicangkan satu aliran filsafat yang berpegang pada prinsip kebahagiaan. Bahwasanya segala sesuatu mesti diukur dari manfaat yang dapat mendatangkan kebahagiaan. 

Gagasan utilitarian itu sendiri dikembangkan oleh Jeremy Betham dan muridnya John Sturt Mill. Pertama-tama Bentham menggagas paham ini dengan fokus pada kebahagiaan pelaku saja. Konsep ini kemudian direkonstruksi oleh Mill menjadi bukan kebahagiaan pelaku saja, melainkan juga demi kebahagiaan semua, yang disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happines theory).

Banyak pengamat melihat bahwa dalam kubu utilitarianisme sendiri ada silang pendapat. Hal ini tentu berdampak pada berakhirnya utilitarianisme. Di satu sisi argumen teleologis yang mementingkan keadaan dengan itu melihat orang sebagai sarana, bertolak belakang dengan tradisi utilitarian sendiri yang mengatakan bahwa tujuan saja yang lebih penting tanpa melihat proses atau keadaan saat tujuan itu diperjuangkan.

Jika paham utilitarianisme diteropong berdasarkan teori keadilan John Rawls, seorang dengan latar belakang penganut sistem liberalisme politik, maka dapat diangkat berbagai kepincangan sebagai kelemahan dari paham utilitarianisme. Namun pertama-tama perlu disadari bahwa tidak ada paham politik yang murni tanpa kritik.

Rawls sendiri sebenarnya dikritik juga atas pandangannya yang dianggap gagal untuk memperjuangkan keadilan yang fair. Robert nozik sebagai pengkritiknya mengatakan bahwa yang minoritas dalam pandangan Rawls tidak pernah mendapatkan tempat. Oleh karena situasi itu, Nozik mengakui paham utilitarian sebagai yang baik.

Dalam politik utilitarianisme terdapat penegasan bahwa paham utilitarian harus berdiri sendiri tanpa merasa wajib atau harus bersaing dari praktik politik sehari-hari. Penegasan ini, seolah menjebak orang pada satu pilihan kontradiktif yaitu memperjuangkan keadilan tanpa menyertakan kelompok utilitarian yang sebenarnya serentak telah jatuh dalam semangat utilitarian itu sendiri dan menyudutkan paham utilitarianisme.

Namun, sebenarnya politik itu sendiri merupakan dinamika hidup bersama yang erat dengan kesetaraan dan perjuangan untuk berkuasa. Membaca politik dari posisi utilitarian ini, menimbulkan kecemasan tersendiri bahwa alih-alih mengharapkan kolaborasi bersama politik, paham utilitarian justru menjadi boomerang bagi kehidupan bersama itu sendiri. Ada ketakutan bahwa paham utilitarian menjadi ideologi yang mengarahkan orientasi politik kepada kepentingan kaum utilitarian saja.

Pada dasarnya utilitarian adalah prinsip etis. Bentham mengatakan the greatest happiness for the greatest number menyiratkan apa yang buruk sebenarnya ditentukan oleh kualitas, dengan itu mengorbankan kepentingan kaum minoritas dan kelompok tertentu.

Selanjutnya John Stuart Mill, yang lebih egaliter dengan pengandaian mentalnya dan lebih menaruh minat kepada kepentingan orang lain menegaskan prinsip etika utilitarian yang lebih sosial dari Bentham. Etika utilitarian Mill lebih memperhitungkan konsekuensinalisme dari sebuah tindakan dan orientasi yang mau dikejar. Selanjutnya dari pengambaran ini, kita bisa mempertimbangkan bahwasanya prinsip etika utilitarian bisa saja masuk dalam ranah politik sejauh memperhitungkan konsekuensinalisme yang serentak juga memicu pembuat kebijakan untuk merancang bentuk politik yang betul menjaga keseimbangan antara kepentingan kelompok mayoritas dan minoritas. Lebih jauh ide ini lebih relevan lagi untuk konteks demokrasi di Indonesia terlebih menyangkut penentuan kebijakan yang lebih menekankan kesetaraan antara satu dengan yang lain.

Mengenai keunggulan paham utilitarianisme, mengapa konsekuenalisme dan tanpa Allah, jiwa dan agama menguntungkan? Menjawabi pertanyaan ini tentu saja pertama-tama kita perlu bertitik tolak dari latarbelakang Kymlicka sebagai seorang komunitarianisme. Dia bertanya sebenarnya agama yang bagaimana dalam Negara modern yang kita butuhkan?? 

Kalau semua entitas agama itu disandingkan dimana titik temu dan orientasi dari sebuah kehidupan. Apalagi saat ini kita hidup dalam modernitas dengan situasi pluralitas yang penuh ketegangan. Hematnya ideal etika universal lumayan rumit untuk dibangun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun