TEORI KEADILAN JOHN RAWLS
Rawls adalah seorang penganut sistem liberalisme politik. Liberalisme politik adalah sebuah hasil kontruksi dari berbagai paham politik. Pengkonstruksian itu didasarkan pada hasil pengamatan bahwa kultur politik masyarakat plural tidak hanya merupakan rajutan kesepakatan bersama beberapa keyakinan dasar, tapi juga diwarnai gejolak dan pertentangan konseptual (Bdk. Otto Gusti Madung, Politik Antara Legalitas dan Demokrasi: 2009). Sistem liberalisme politik mempunyai tiga karakter utama yaitu;Â
Pertama karakter non konvensi. Affirmasi karakter ini adalah negara tidak boleh mengintervensi ruang privat warganya. Negara tidak boleh memaksa warganya untuk menganut satu kepercayaan (agama), yang dianggap benar atau agama mayoritas.Â
Kedua karakter supremasi hukum. Negara hendaknya bersifat netral. Netralitas menjadi patokan bagi negara dalam menjalankan fungsinya sebagai sebuah hasil kontrak sosial dari bentuk posisi asali (origin possition). Setiap warga negara mesti memperoleh perlakuan yang sama dari negara.Â
Ketiga karakter argumentarisme. Negara mesti mengapresiasi setiap opini yang datang dari warganya. Di sana ada perdebatan dan diskusi untuk mencapai kosensus bersama.
Wajah pulang Rawls sebagai seorang penganut sistem liberalisme politik melatar belakangi pencetusan teori keadilannya. Dalam bukunya The Theory Of Justice, yang terbit tahun 1971, ia katakan bahwa teori politik terjebak di antara dua ekstrim; di satu pihak utilitarianisme, dan di pihak lain campuran berbagai gagasan dan prinsip yang tidak koheren yaitu yang di sebutnya 'intuisionisme'.
Utilitarianisme dikembangkan oleh Jeremy Betham dan muridnya John Sturt Mill. Utilitarianisme disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happines theory). Kebahagiaan menjadi landasan moral utama kaum utilitarianisme, walau kemudian konsep ini direkonstruksi oleh Mill menjadi bukan kebahagiaan pelaku saja, melainkan juga demi kebahagiaan semua. Kritik terhadap kaum ini yaitu pada posisi ekstrimnya utilitarianisme dapat berlaku sebagai kaum komunis di mana setiap individu tidak dihargai kebebasannya demi kemajuan kelompok.
Intuisionisme merupakan alternatif yang tidak memuaskan bagi utilitarianisme. Intuisionisme hadir sebagai teori alternatif yang membuat intuisi itu masuk akal. Rawls mendeskripsikan teori-teori intuisionis sebagai mengandung dua ciri:
Pertama, teori-teori intuisionis dibentuk oleh pluritas prinsip-prinsip pertama yang mungkin bertentangan, yang memberikan petunjuk-petunjuk yang tidak masuk akal dalam kumpulan-kumpulan kasus-kasus khusus; dan kedua teori-teori intuisionis tidak mengandung metode yang eksplisit, tanpa prioritas aturan-aturan, untuk mempertimbangkan prinsip-prinsip ini satu sama lain; kita hanya menyetujui keseimbangan dengan intuisi; dengan sesuatu yang bagi kita nampak hampir benar. Atau jika terdapat prioritas aturan-aturan, ini dianggap lebih kurang sepele dan tidak banyak membantu dalam mencapai sebuah keputusan (1971: 34).
Rawls menawarkan  solusi melalui teori keadilan yang ia cetuskan. Ada tiga poin besar yang dapat kita simak:Â
pertama, prinsip kebebasan yang sama (equal liberty of principle). Prinsip-prinsip keadilan diurutkan dalam tertib leksikal dan karena itu kebebasan hanya dibatasi demi kebebasan itu sendiri. Setiap orang memiliki hak yang sama atas kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), kebebasan personal (liberty of conscience and though), kebebasan untuk memiliki kekayaan (freedom to hold property), kebebasan dari tindakan sewenang-wenang.Â