Pemilu. Satu kata sederhana yang artinya sudah diketahui bersama namun selalu terdengar waow di telinga, pikiran dan hati kita. Kita sudah tahu arti kata pemilu tanpa perlu membuka kamus Bahasa Indonesia.Â
Walau demikian, setiap orang seakan tidak puas dan tidak pernah berhenti mendefinisikan kata pemilu sesuai konteks, situasi, kondisi dan karakter masyarakat masing-masing daerah. Â
Setiap kali pemilu dikumandangkan, gaungnya bergema bukan saja di telinga tetapi juga dalam hati dan pikiran masing-masing pendengar. Kita seakan ditarik oleh ada semacam kekuatan magis tertentu untuk sepanjang hari membicarakan, berdiskusi, bercerita, sharing pengalaman dan lain sebagainya tanpa ada habisnya tentang pemilu.
Tanggal 27 Juni 2018 merupakan pemilu serentak yang diikuti oleh 171 daerah dari 17 provinsi, 39 kota, 115 kabupaten di seluruh Indonesia. Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu dari 17 provinsi yang terlibat dalam pemilihan serentak ini. Ada 10 kabupaten di NTT yang turut berpartisipasi pada momen akbar ini yaitu kabupaten Sikka, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Nagekeo, Rote Ndao, Manggarai Timur, Timor Tengah Selatan, Alor, Ende dan Kupang.
Walau pemilu adalah momen akbar perpolitikan di Indonesia namun momen ini kerap kali tidak digunakan secara baik untuk menunjukkan citra demokrasi yang hakiki. Momen akbar tersebut kerap kali dilecehkan oleh kandidat atau tim sukses atau kelompok masyarakat tertentu dengan sikap yang tidak demokratis. Janji-janji palsu diumbar oleh para kandidat untuk memikat hati rakyat.Â
Mayarakat yang kerap merasa tertipu oleh janji-janji manis akhirnya sampai kepada titik jenuh. Janji pada saat kampanye oleh para kandidat diindentikkan dengan penipuan. Jika selama ini yang sering terjadi adalah para kandidat berusaha mencari trik-trik khusus untuk mengelabui masyarakat maka sekarang yang terjadi adalah masyarakat pun mulai mengelabui para kandidat.Â
Masyarakat mulai berakting meniru para kandidat. Di saat kampanye, pada satu sisi para kandidat berlaku bak professor yang mengajar dengan apik, di sisi lain masyarakat pendengar berakting bak murid yang patuh. Setelah kampanye selesai dan janji-janji telah tuntas dirapal semuanya buyar dihembus angin saling tidak percaya dan keraguan akan kebenaran janji-janji yang telah disampaikan.Â
Pemikiran-pemikiran cerdas, kiat-kiat sukses dan strategi-strategi apik untuk membangun daerah ke arah yang lebih baik kembali dipasung oleh politik kedaerahan, keagamaan, kesukuan, kekeluargaan, uang dan lain sebagainya. Ideal pemilihan untuk mencari kandidat yang terbaik dari sudut pandang visi-misi dan kinerja terbaikan. Demokrasi kita tanpa sadar digiring kepada jurang kepalsuan oleh kita sendiri.
Penulis tidak bermaksud mengeneralisasi seluruh kandidat atau tim sukses atau kelompok masyarakat melakukan hal tersebut. Kita harus mengapresiasi bahwa ada juga orang tertentu yang sungguh-sungguh berpolitik dengan tetap setia kepada kaidah-kaidah demokrasi dan berpolitik dengan menampilkan taring demokrasi yang hakiki.Â
Hal tersebut kita dapat ketahui melalui telaah sepak terjang orang-orang tersebut dalam dunia politik, rekam jejak, kinerja dan janji-janji politik yang disampaikan. Hal yang ingin disoroti di sini adalah kepincangan yang terjadi dalam kontestasi pemilu kita.