"Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh, sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua, dan bola api merah padam membenam di ufuk teduh."
Penggalan puisi ini merupakan karya dari taufik Ismail yang berjudul "Beri Daku Sumba". Puisi ini lahir pada tahun 1970. Taufik sendiri menulis puisi ini tanpa pernah berkunjung ke Sumba sebelumnya. Inspirasi tentang Sumba didapatnya justru dalam kunjungannya ke Uzbekistan dipadu berbagai cerita tentang Sumba dari sahabat karibnya Umbu Landu Paranggi. 20 tahun setelah puisi ini ditulis barulah Taufik sempat mengunjungi Sumba, dan 40 tahun setelah Taufik menulis puisi tersebut akhirnya kerinduan melihat 1000 ekor kuda terwujud dalam parade 1001 kuda di Sumba yang dilaksanakan di 4 kabupaten di pulau Sumba yaitu Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat  dan Sumba Barat Daya tanggal 4-13 Agustus 2017. Mungkinkah perlu orang bertanya kepada Taufik, apakah dirinya sempat menonton parade tersebut dan bagaimana perasaannya?
Bagi masyarakat Sumba sendiri, kuda dan budaya adalah dua hal yang saling berkaitan erat maknanya. Bahkan dalam aliran kepercayaan asli orang Sumba yaitu aliran kepercayaan Marapu menyebutkan dalam kisah asal mula manusia kata kuda pada lapisan ke enam dari delapan lapisan turunnya manusia pertama. Lapisan keenam bernama Reti Wula-Kulu Mbaya, Reti Ananjara-Pindu Anatau (kubur bulan dan tempurung kuningan, kubur anak kuda dan pintu patung manusia).
Selain itu, ada juga yang disebut kuda -- kuda  marapu (ndara marapu) yang ditunggangi oleh rato ketika ada acara atau ritual -- ritual adat atau pun acara menjelang pasola. Kuda -- kuda marapu tersebut hanya bisa berada di rumah -- rumah besar (Uma Kalada) dan tidak bisa diperjual-belikan.
"Ndara ole urra, bongga ole ndewa". Syair adat ini mengandung makna yang begitu mendalam. Secara harfiah dapat diartikan "kuda yang segaris tangan dan anjing yang sejiwa dengan pemiliknya". Makna yang mau ditegaskan dibalik ungkapan ini adalah kesetiaan. Kuda bagi orang Sumba bukan saja sekadar hewan peliharaan tetapi lebih dari itu dilihat sebagai teman atau kawan.
Kuda Sumba mendapat julukan kuda sandalwood dikaitkan dengan cendana (sandalwood) yang pada masa lampau merupakan komoditas ekspor dari Pulau Sumba dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya.
Selain mengandung makna sosial, kuda bagi orang Sumba  merupakan alat transportasi penting dalam kehidupan sehari-hari sejak jaman dahulu. Hal ini ditegaskan dalam catatan J. de Roo pada tahun 1890 bahwa kuda telah menjadi komoditi perdangangan orang Sumba ke daerah lain di Nusantara paling tidak sejak 1840.
Pesona Sumba tidak boleh luntur dan sandalwood tidak boleh punah karena di situlah salah satu kekuatan yang membuat orang dari berbagai penjuru dunia mau datang ke Sumba dan belajar tentang mencintai budaya dan alam. Tidak gampang memang untuk mempertahannya dan melestarikannya, namun kita harus yakinkan diri mampu dan berjuang mewujudkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H