Pada dasarnya, pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan hak bagi setiap warga negara, hal ini tercantum dalam UUD 1945 pasal 28 dan 31. Karena hanya dengan pendidikanlah suatu bangsa akan maju. Bandingkan saja, semakin tinggi kualitas sumber daya manusia di suatu negara, pasti pembagunan negaranya jauh lebih maju dibandingkan dengan yang kualitas sumber daya manusianya rendah. Karena pondasi suatu bangsa terletak pada sumber daya manusianya.
Lalu pertanyaannya adalah: Pendidikan yang seperti apa yang dapat memajukan bangsa? Seperti yang telah kita ketahui, bukan merupakah hal yang tersembunyi lagi, bahwa kurikulum di Indonesia merupakan salah satu kurikulum terberat jika dibandingkan dengan kurikulum negara yang tingkat pendidikannya terbaik di dunia, misalnya saja Finlandia. Di Finlandia, untuk siswa SD, mereka rata-rata diberi beban jam mata pelajaran sekitar 30 jam/minggu. Dibandingkan dengan kurikulum Indonesia yang rata-rata sekitar 42 jam/minggu. Para penyusun kurikulum Indonesia mungkin berpikir bahwa semakin banyaknya mata pelajaran yang diajarkan kepada siswa maka semakin baik pula kualitas siswa sehingga kelak akan dapat memajukan bangsa. Padahal pada kenyataannya tidaklah demikian. Semakin banyaknya materi yang diwajibkan dalam mata pelajaran hanya akan membuat siswa merasa terbeban, bosan, dan bahkan tertekan atas tuntutan-tuntutan yang ada. Para penyusun kurikulum Indonesia rupanya tidak memikirkan aspek psikologis yang ditimbulkan akibat tekanan berlebihan. Maksud hati akan membuat bangsa menjadi lebih baik dalam pembangunannya, tetapi yang terjadi malah sebaliknya.
Hal tersebut dapat terjadi karena para penyusun kurikulum Indonesia mengibaratkan bahwa siswa adalah sebuah investasi di masa depan. Sehingga mereka bepikir, semakin banyaknya sesuatu yang diinvestasikan di dalamnya, maka hasil yang akan diperoleh akan lebih besar. Padahal kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Menjejalkan begitu banyaknya materi tidak lantas membuat siswa menjadi menguasai segalanya, tidak demikian. Menurut teori yang dikemukakan oleh Hans Selye, yaitu semakin banyak beban yang diberikan kepada individu maka yang terjadi adalah penurunan keefektifan dan malah hanya meningkatkan stress saja. Lalu apa yang dimaksud dengan keefektifan? Dalam hal ini, dapat dikatakan efektif jika apa yang diajarkan di sekolah mereka dapat mereka terima sepenuhnya. Nyatanya tidaklah demikian. Tidak sedikit siswa yang biasa-biasa saja setelah diajarkan begitu banyaknya materi di sekolah mereka. Tidak banyak juga dari mereka dapat menerapkan ilmu dari materi yang mereka terima di sekolah mereka. Ini yang dinamakan kurang efektif.
Ujian Nasional sudah berlalu, tetapi apakah ujian tersebut dapat secara efektif menilai kemampuan siswanya? Ya, memang, cara itu adalah cara yang paling adil untuk menilai kemampuan siswa di seluruh Indonesia. Tetapi pada kenyataannya, ujian tersebut sebenarnya tidaklah efektif. Kenapa? Karena dari tahun ke tahun selalu ada kebocoran soal, kecurangan demi kecurangan pun terjadi. Sehingga, ujian yang dikatakan menilai secara adil seluruh siswa Indonesia tidak lagi menjadi demikian. Lalu apakah sistem ujian ini salah jika diterapkan? Sebenarnya tidak, hanya saja tidak akan mampu mencapai kata adil bagi seluruh siswa di Indonesia.
Hal yang sering membuat saya terpaku adalah hampir semua mata pelajaran yang diajarkan kepada siswa adalah dengan metode menghafal. Misalkan saja untuk pelajaran Matematika, guru biasanya menuntut siswa untuk menghafal metode-metode atau pun rumus-rumus yang sudah ada tanpa lebih menekankan aplikasinya atau pun metode penalarannya. Hal ini sangat disayangkan karena mereka tidak akan mengerti penggunannya dan kegunaannya atas apa yang telah mereka pelajari. Jika kita boleh membandingkan dengan sistem pendidikan di negara maju, mereka tidak melakukan hal yang demikian. Mereka lebih menekankan terhadap aplikasi dari mata pelajaran yang diajarkan. Dengan harapan, setelah mempelajari mata pelajaran tersebut siswa dapat menggunakannya di kehidupannya sehari-hari bukan hanya menjadi teori belaka yang tak tahu harus diapakan.
Sebenarnya, masalah ini bersumber dari kurikulum di Indonesia yang menurut saya terlalu general. Maksudnya adalah mata pelajaran yang diberikan di sekolah tidak terlalu spesifik kepada setiap minat dan bakat siswanya. Seperti yang kita ketahui, bahwa minat dan bakat setiap individu tidaklah sama, sehingga jangan pernah menyuruh setiap siswa untuk menguasai setiap mata pelajaran, karena belum tentu mereka berbakat dalam hal tersebut. Memang, mata pelajaran yang diajarkan perlu untuk dipelajari, tetapi alangkah baiknya jika hanya mata pelajaran yang esensial saja yang dijadikan mata pelajaran wajib, sisanya mungkin dapat dijadikan mata pelajaran ekstrakulikuler. Sehingga hanya siswa yang memang berminat saja yang mengikutinya. Hal ini akan jauh lebih efektif daripada mewajibkan seluruh mata pelajaran kepada setiap siswa. Di negara yang tingkat pendidikannya jauh di atas kita, mereka tidak membebani siswa dengan banyaknya mata pelajaran yang harus dikuasai. Karena mereka sadar, hal itu tidaklah efektif dan hanya sia-sia bahkan merugikan siswa karena siswa dapat menjadi stress oleh karenanya.
Kendati demikian, para penyusun kurikulum di Indonesia belum juga menyadari bahwa satuan kurikulum yang dibuatnya sangatlah tidak efektif dalam rangka pembangunan bangsa. Jika hal ini tetap dibiarkan, tentunya pembangunan bangsa akan sangat sulit terlaksana. Maka dari itu, perlu diadakan pembenahan atas kurikulum di Indonesia. Kita bisa mencontoh negara yang pendidikannya baik, jangan takut dikatakan kebarat-baratan jika memang yang dicontoh adalah hal yang baik yang dapat memajukan bangsa Indonesia. Karena kemajuan bangsa ini terletak pada generasi mudanya. Jika generasi mudanya sudah dididik dengan baik dan dengan efektif, tentunya pembangunan bangsa pun akan terlaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H