Suku-suku di Indonesia memang unik. Unik dan kaya. Kaya akan tradisinya, kaya akan budayanya,dan kaya akan nilai-nilai luhurnya. Hal itulah yang membuat Indonesia kaya. Tetapi jika diamati,banyak tradisi yang kadang-kadang terasa aneh, unik, dan biasanya membuat kita yang bukan berasal dari suku tersebut menjadi terheran-heran dan kadang merasa ngeri karena ada unsur kekerasan di situ, salah satunya adalah Tradisi Mallanca.
Tradisi Mallanca atau yang sering disebut tradisi adu betis merupakan salah satu tradisi terunik di Indonesia yang dilakukan masyarakat Sulawesi Selatan,di Kecamatan Moncongloe, Kabupaten Maros, yang dilakukan seusai panen besar sebagai perwujudan dari rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberhasilan panen, masyarakat bersyukur karena Indonesia sebagai negara agraris di mana rata-rata rakyatnya bergantung pada hasil pertanian untuk mencukupi kehidupan hidup mereka, maka tidak berlebihan dong kalau masyarakat sering mengadakan perayaan sukacita setelah panen. Namun tradisi ini hanya diadakan setahun sekali karena sawah di moncongloe hanya bisa panen setahun sekali tepatnya pada bulan Agustus sehingga seringkali dirayakan berbarengan dengan perayaan hari kemerdekaan.
Sesuai namanya,tradisi ini dilakukan oleh para pria baik tua maupun muda di Maros untuk menunjukan kekuatan kaki mereka dengan cara menendang betis orang lain,tak jarang pula para peserta pergi terlebih dahulu ke dukun untuk mendapatkan ilmu gaib agar betis mereka tidak cedera,sedangkan para ibu-ibu membawa makanan untuk disantap semua orang,baik penonton maupun peserta.Tradisi ini pun sangat ramai disaksikan baik oleh golongan muda maupun tua.Tradisi ini sendiri dilakukan di dekat makam gallarang moncongloe yang ditumbuhi banyak pohon-pohon serta jauh dari pemukiman penduduk.Makan ini merupakan makam milik leluhur desa moncongloe yang juga merupakan pamannya Raja Gowa,Sultan Allaudin.
Tradisi Mallanca sendiri sudah ada sejak dulu kala dan turun menurun hingga sekarang.Tradisi ini dilakukan secara berkelompok dengan cara membentuk lingkaran besar,dan adu betis dilakukan di dalam lingkaran tersebut,tradisi ini dilakukan oleh 2 tim yang masing-masing terdiri dari 2 orang,dimana 2 orang menjadi penendang dan 2 orang yang lainnya memasang kuda-kuda agar tidak goyah saat betisnya menerima hantaman dari tim penendang.Tradisi ini sendiri selain untuk mengenang jasa para leluhur mereka yang telah menjaga Kerajaan Gowa dengan jiwa patriotisme pada dulu kala,juga menunjukan nilai kekeluargaan yaitu dimana saat semua orang duduk untuk makan bersama sebelum tradisi dimulai.selain itu sifat gotong royong juga terlihat karena tradisi ini merupakan tradisi akbar maka semua masyarakat bahu membahu menyediakan segala keperluan adat dan membawa gabah padi setelah panen,setelah itu gabah tersebut akan dipakai oleh mereka sendiri dan dijual untuk dijadikan dana untuk acara.
Namun keunikan dari tradisi adu betis ini adalah tidak ditemukannya pemenang,karena tradisi ini bukan lomba melainkan hanya untuk menunjukan menunjukan nilai-nilai luhur yang ada di dalamnya.Walaupun kadang setelah tradisi ini ada peserta yang mengalami patah tulang atau keseleo,namun para peserta tetap tidak pernah kapok dan tradisi ini tetap di nantikan oleh masyarakat maros setiap tahunnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H