Masyarakat wilayah Jakarta utara memiliki dua akses laut dan satu akses darat yang cukup vital dalam perputaran roda ekonomi dari bidang perdagangan baik import maupun eksport. Untuk akses laut sebutlah dua pelabuhan besar yakni pelabuhan Sunda Kelapa dan pelabuhan Tanjung Priok, sedangkan akses darat adalah Stasiun kereta Tanjung priok. Ketiganya merupakan pintu utama perekonomian yang menghubungkan Jakarta utara ke seluruh nusantara bahkan sampai ke mancanegara.
Pelabuhan laut Tanjung priok merupakan salah satu sandaran hidup sebagian masyarakat di sebuah wilayah kecamatan bernama Tanjung priok. Dari bermata pencaharian sebagai pengemudi moda transportasi ojek pelabuhan (dengan rompi kuningnya yang khas), karyawan perusahaan-perusahaan pelayaran dan angkutan laut, karyawan perusahaan ekspedisi angkutan antar provinsi, tempat hiburan santai, sampai kios barang pecah belah.
Tidak jauh dari pelabuhan Tanjung priok ada sebuah wilayah kecil bernama Permai tepat di sisi jalan bebas hambatan (by pass) terpanjang kedua di Jakarta (setelah Jalan Daan Mogot) bernama Jalan Yos Sudarso. Dikatakan Permai karena sejak dahulu kala daerah tersebut adalah tanah subur dengan pepohonan hijau yang dikelilingi rawa. Barulah sekitar tahun 1950-an wilayah ini dibuka oleh masyarakat sekitar dan dijadikan perumahan penduduk serta tempat untuk berdagang.
Diawali dengan singgahnya para pelaut nusantara maupun mancanegara yang menjual souvenir maupun barang-barang dari luar negeri yang mereka peroleh selama perjalanan lintas negara dan benua, lalu seiring berjalannya waktu berkembang menjadi proses jual-beli yang saling menguntungkan. Dan perlahan tapi pasti keadaan tersebut terus berkembang sampai berdiri sebuah komunitas pusat perdagangan kecil untuk barang pecah belah dan kelontong yang sampai hari ini dikenal dengan nama Pasar ular atau akrab dibibir masyarakat Tanjung priok dengan sebutan 'Paul' (Pasar Ular).
Sebelum melihat 'Paul' dari dekat maka perlu adanya sedikit pelurusan terkait mengapa dinamakan Pasar ular (Paul). Dua versi di media-media sosial mengangkat bahwa dinamakan Pasar ular karena dahulu pasar tersebut adalah pasar hewan yang menjual berbagai jenis hewan melata ular dan satu versi lagi adalah karena pasar ini memiliki kios-kios yang begitu banyak dengan lorong-lorong sempit yang meliuk-liuk jalan hewan ular.
Menampik dua versi cerita tersebut sekaligus versi cerita lainnya (jika ada) maka Noviyanti Silitonga seorang pedagang sekaligus pengurus harian (bendahara) di AP3 (Asosiasi Pedagang Pasar Ular Permai) menjelaskan bahwa sebenarnya nama Pasar ular mengemuka karena daerah Permai dulunya daerah hutan yang dikelilingi rawa serta banyak dihuni hewan melata sebagian besar diantaranya ular.
"Jadi dahulu daerah ini adalah hutan hijau nan permai yang dikelilingi rawa serta banyak ular," kata Yanti. Dan Yanti sendiri merupakan generasi kedua pedagang keramik import di Pasar ular Permai melanjutkan usaha ayahnya (Alm) Bapak Silitonga.
Daya jangkau penjualan para pedagang keramik import Pasar ular Permai mencakup seluruh nusantara baik secara grosir maupun perorangan. Bahkan awak kapal maupun penumpang dari kapal-kapal asing baik kapal barang maupun kapal pesiar yang masuk ke pelabuhan Tanjung priok kerap mengunjungi Pasar ular Permai untuk membeli barang-barang berkelas dunia tersebut.
Sedangkan untuk melayani pemesanan barang dari luar kota di seluruh nusantara maupun mancanegara, maka para pedagang Pasar ular Permai menggunakan jasa transportasi laut lewat Pelabuhan Tanjung priok dan Sunda kelapa.
"Mungkin mereka berpikir daripada harus keluar biaya kirim mahal memesan dari negara-negara tempat asal keramik tersebut maka sekalian saja mampir ke Tanjung priok lalu berbelanja di Paul Permai," jelas Yanti.