"Politicians and diapers must be changed often, and for the same reason"- Mark Twain.
Beberapa waktu lalu, sempat hangat di ruang publik wacana untuk membangkitkan Garis Garis Besar Haluan Negara, atau biasa dikenal sebagai GBHN. Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan, mengingat anggapan legislator tertentu, yang mengklaim seringnya terjadi perubahan visi-misi dalam agenda eksekutif.Â
Misalnya, dalam kebijakan di bidang Pendidikan, terjadi beberapa kali perubahan kurikulum yang membuat kerancuan di institusi Pendidikan. Dalam hal ujian nasional pun, kebijakan apakah ujian tersebut ditetapkan sebagai indikator kelulusan atau tidak, seringkali berubah setiap tahun. Â Sehingga, hal ini berdampak pada efisiensi penyelenggaraan Pendidikan itu sendiri.
Apabila kebijakan pemerintah di bidang yang fundamental sering berubah maka tujuan besar dari adanya penyelenggaraan pemerintahan akan sulit tercapai. Mengapa? Sebab dengan adanya perubahan yang terus menerus, misal ketika terjadi reshuffle menteri atau pergantian kepemimpinan Presiden, visi-misi penyelenggara pemerintahan seringkali berubah- ubah. Hal ini berakibat pada ketidakjelasan target pemerintah dan implementasi kebijakan krusial dalam jangka panjang.
Hal tersebut yang mendorong perlunya dikembalikan GBHN, agar pemerintah memiliki tujuan yang jelas dan rigid dalam menyelenggarakan pemerintahan.Â
Adapun, apabila kita melihat konsep hukum yang dinyatakan Roscoe Pound, yakni "Law as a tool of social engineering", konsep tersebutlah yang kemudian dimodifikasi menjadi hukum sebagai sarana pembangunan. Di mana, hal tersebut dituangkan dalam merumuskan GBHN 1978.Â
Sehingga, hukum digunakan sebagai sarana pembangunan yang mengubah alam pemikiran masyarakat tradisional ke pemikiran modern (Konsep Konsep Hukum dalam Pembangunan, Prof. DR. Mochtar Kusumaatmaja,S.H.,LL.M). Namun apakah GBHN masih relevan dengan kondisi sosial politik saat ini?
Adapun, wacana pengembalian GBHN tidak hanya menuai narasi-narasi pro di ruang publik, wacana tersebut juga mendapat kritikan keras dari aktivis maupun pakar-pakar ketatanegaraan. Hal ini dipicu oleh anggapan bahwa pengembalian GBHN adalah bentuk kemunduran semangat reformasi.Â
Tidak hanya itu, dengan adanya pengembalian GBHN, maka akan terjadi supremasi lembaga legislatif. Hal ini dibuktikan dalam sistem ketatanegaraaan Orde Baru (masa berlakunya GBHN), MPR adalah lembaga tertinggi negara. Sehingga, apabila GBHN diterapkan, maka sistem presidensial akan diingkari, mengingat dominannya kekuasaan parlementer dalam menentukan jalannya pemerintahaan suatu negara.
Dengan adanya GBHN, maka kekuasaan eksekutif kemudian dibatasi dan terkekang pada butir-butir GBHN itu sendiri. Hal ini secara konsekuen berdampak pada kekakuan institusional, yang bisa mengakibatkan semakin runyamnya birokrasi dalam pembentukan kebijakan di cabang kekuasaan eksekutif.