Â
Pancasila adalah falsafah fundamen bangsa kita. Bahkan, Pancasila dinyatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum. Namun, apakah nilai Pancasila betul-betul diimplementasikan di dalam pendidikan kita dan mencetak pribadi yang berisikan nilai Pancasila? Nyatanya belum.Â
Seringkali kita jumpai oknum-oknum, maupun lembaga masyarakat yang menolak paham Pancasila, bahkan mewacanakan ideologi fundamen yang baru. Sehingga tercipta disintegrasi dan malfungsi dari pendidikan itu sendiri, yakni kegagalan mentransmisikan nilai fundamen suatu negara. Tidak hanya sebagai sumber hukum, Pancasila seharusnya dimanifestasikan secara praktikal di dalam pendidikan kita.
Mengapa? Karena salah satu fungsi dari pendidikan itu sendiri adalah transmisi nilai. Transmisi nilai merupakan aglomerasi dari berbagai faktor ideologis yang berkembang di masyarakat dan disalurkan kepada manusia lain, baik secara verbal maupun non-verbal.Â
Adapun, transmisi nilai tidak melulu diinterpretasikan sebagai forced transmission, di mana ideologi tersebut bersifat indoktrinasi dan ditransmisikan dengan metode yang propagandatis. Seperti upaya indoktrinasi Pancasila di masa Orde Baru, yang menurut saya hanya bersifat teaterikal tanpa praktek.
Adapun, dalam proses pembentukan karakter individu terdidik, perlu adanya transmisi nilai yang sesuai dengan norma hasil konsensus masyarakat. Seperti Amerika, di mana liberty and equality adalah ideologi fundamen dari negara tersebut. Lantas bagaimana dengan transmisi nilai di Amerika? Di tiap kurikulum, ruang kelas hingga pojok literasi, semuanya mencerminkan kebebasan dan kesetaraan.Â
Sehingga, kebebasan dalam berdialektika dan berpikir menjadi nilai yang dijunjung tinggi di Amerika. Selanjutnya, hal ini dibuktikan dengan adanya kebebasan multikultural yang tinggi di dalam masyarakat Amerika. Sebagai hasil dari transmisi nilai yang diimplementasikan pada sistem pendidikan negara tersebut.
Ataupun Jerman, di mana negara tersebut terkenal akan kedisiplinan dan sikap tanggung jawabnya yang tinggi. Ini dibuktikan, dengan adanya rasa malu jika terlambat. Berbeda dengan Indonesia, yang seringkali membudayakan sikap 'ngaret', masyarakat Jerman menentang keras sikap ini. Dan tentunya, hal ini juga ditransmiskan melalui sistem pendidikan di Jerman yang menekankan nilai-nilai kedisiplinan.
Namun apa daya, pendidikan tidak pernah terlepas dari peran pendidik/guru. Peran pendidik sangatlah krusial dalam mencetak individu penerus bangsa yang berkualitas. Di dalam prinsip sistem pendidikan, perlu adanya kebijakan tegas, mengenai transmisi nilai fundamen suatu negara. Karena, jika tidak diiringi dengan kebijakan yang tegas, maka komponen yang mendukung sistem pendidikan  tidak akan berjalan dengan semestinya. Sehingga transmisi nilai-nilai falsafah negara akan terhambat dan kehilangan esensi substansialnya.
Adapun, hasil survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, menunjukkan data 57 persen guru di Indonesia memiliki pandangan intoleran terhadap agama lain. Survei ini merupakan realita pahit dari penerapan ideologi Pancasila di bidang pendidikan. Khususnya penerapan sila pertama, di mana semua orang tanpa terkecuali, memiliki otoritas penuh dalam memilih keyakinan ketuhanannya.
Perlu adanya tindakan reflektif dan antisipatif dari pemerintah, khususnya kementrian pendidikan dalam menangani hal ini. Karena dengan adanya sikap intoleran guru-guru, maka hal ini pun akan berdampak pada penanaman sikap intoleran di kalangan siswa. Sehingga akan tercetak individu-individu yang intoleran, serta berimbas kepada disintegrasi jangka panjang di dalam masyarakat Indonesia. Bahkan, hal ini tidak menutup kemungkinan timbulnya perpecahan hingga perang saudara di tanah air. Tentu saja, hal ini menghancukan persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa yang utuh, diiringi dengan lunturnya cita-cita pendiri bangsa yang sudah bersusah payah merebut kemerdekaan dengan harga yang sangat mahal.