Thailand memiliki sebuah sejarah yang cukup kuat bila kita bicara masalah intervensi militer dalam percaturan politik atau mungkin tradisi kudeta yang dilancarkan oleh militer dari perdana manteri ke perdana menteri, siapa sangka menyimpan sebuah kekuatan politik yang sangat menentukan beberapa peristiwa yang cukup bersejarah salah satunya pada tahun 1973 dan 1992. Kekuatan tersebut adalah aksi masa yang salah satu aktornya adalah gerakan mahasiswa.
Memang dari ketiga contoh diatas saja kita bisa menarik benang merah karena memiliki sebuah motif-motif, pola-pola, kepentingan-kepentingan bahkan musuh yang berulang bahkan cenderung sama. Boleh jadi karena tradisi yang sama yang diwariskan atau pun memiliki semangat visi yang sama.
Pada tahun 1973 seperti dirilis kantor berita Merdeka oleh Christie Stefani tepatnya pada tanggal 14 Okttober 1973 ratusan ribu mahasiswa Thammasat menggelar pemberontakan dan memprotes pemerintahan militer Thanom Kittikachorn. Dalam aksi ini setidaknya tidak kurang dari 77 orang tewas dan 857 cedera karena tindakan represif tentara kerajaan Thai.
Sebelumya Thanom adalah seorang dictator militer yang terkenal keras dan sangat kejam pada gerakan-gerakan aksi masa mengingat latar belakang militer. Dia dikenal sebagai seorang anti komunis sejati karena kebijakan-kebijakannya yang lebih mengarah pada stabilitas serta kontradiksi dengan kemauan masyarakat yang pada saat itu masih banyak yang hidup pada garis kemiskinan.
Namun masa pemerintahannya yang sejak 1963 di embannya itu harus diletakan pada tahun 1973 setelah ada pengerahaan aksi masa dan gerakan mahasiswa pada gelombang besar protes yang menganggap pemerintah tidak becus serta program yang tidak populis.
Di dalam peristiwa ini penulis bisa mengambil kesimpulan bahwa gerakan mahasiswa lahir dari sebuah keprihatinan dan solidaritas mahasiswa pada kondisi dan keadaan masyarakat yang cenderung jauh dari yang diharapkan. Terlebih lagi dipimpin oleh seorang dictator tangan besi yang tidak memperkenankan segala bentuk kegiatan politik serta aktivitas yang sifatnya bentuk konkret untuk menunjukan rasa tidak senang kita pada rezim pada saat itu.
Motif pergerakannya pun menarik selain di dorong oleh rasa senasib dan sepenanggungan, pada tahun ini masyarakat sudah menuntut banyak pada pemerintah agar dibuka sebuah lingkup partisipasi yang melibatkan masyarakat dalam hal ini tentu juga kepada mahasiswa agar bisa menyalurkan aspirasinya kepada pemerintah.
Lalu meloncat pada tahun 1992 ketika perdana menteri terpilih Chuan Leekpai terpilih namun yang menarik adalah dia adalah hasil dari revolusi aksi masa pada tahun 1992 yang terkenal dengan “Mei Hitam” atau “Black May”. Sebelumnya penulis ingin memberikan gambaran umum alur atau peta politik Thailand 1990-an.
Pada dekade 1990-an terjadi beberapa peristiwa penting yang alur rantainya saling berkaitan dari mulai kudeta militer pada 1991 lalu gerakan mahasiswa dan masyarakat yang berujung pada peristiwa Black Mayyang terjadi pada tahun 1992 dimana pemerintahan direbut kembali oleh kekuasaan sipil yang kelak jatuh kembali lantas pada tahun 1997 terjadi krisis perekonomian di seluruh dunia dan tidak terkecuali Thailand yang terkena imbas atau dampak dari krisis tersebut yang menyulut kemarahaan masa dan jatuh bangun pemerintah yang digawangi militer lalu muncul tuntutan masyrakat Thailand mengenai hak asasi manusia, hak berpartisipasi, berekspresi dan segala sesuatu yang berkaitan dengan demokrasi serta yang berujung pada pengangkatan Thaksin Shinawatra.
Tahun-tahun yang menentukan ini dimulai ketika kekuatan militer yang sejak tahun 1950-an sudah melakukan kudeta-kudeta militer kembali mengulangi tradisi tersebut kali ini adalah yang menjadi santapannya adalah kabinet yang pimpin oleh Perdana Menteri Jenderal Chatichai Choonhavan. Militer memandang kabinet ini terlalu banyak di isi oleh para pengusaha sehingga banyak kepentingan dari para pihak militer tidak mampu di penuhi bahkan banyak program kerjanya yang dianggap tidak menguntungkan pihak militer. Misalnya memotong anggaran militer dalam hal ini angkatan darat, hal lain yang tidak kalah penting adalah para elite politik yang mulai tersinggung bisnis kayu serta dan senjata di Thailand yang mulai di usik.
Namun puncak dari konflik tersebut adalah ketika kabinet tidak menyetujui 50 milyar Bath untuk persenjataan militer serta pengangkatan Jendral Arthit menjadi deputi Menteri Pertahanan. Yang tidak di inginkan oleh militer adalah campur tangannya pemerintahan terhadap kenaikan pangkat tahunan militer yang membuat kian runcing hubungan antara para politisi serta militer.
Pada tanggal 23 februari 1991 adalah puncak konflik yang berujung kudeta militer atas rezim militer. Militer beralasan pemerintah dianggap korup dan membawa Thailand pada kondisi darurat sehingga perlu ada kepemimpinan baru. Lalu dibentuknya National Peace Keeping Council (NPKC) yang mengajukan tokoh publik terkemuka bernama Anand Panyarachun sebagai perdana menteri. Dibalik ini semua ada agenda terselubung militer yang ingin melanggengkan kekuataan dan kekuasaannya. Tapi Anand adalah orang yang sangat independen sehingga banyak keputusan-keputusannya dinilai tidak memihak milter. Ini dibuktikan dari kasus nepotisme yang membelit kabinet baru ini ketika para petinggi militer atau elite-elite militer mulai menduduki posisi-posisi penting dalam kegiatan bisnis terutama dalam bidang bisnis telekomunikasi di intervensi. Terlebih lagi ia menolak pembelian senjata besar-besaran seperti usulan dari militer.
Militer mulai kembali menyerukan kudeta namun kali ini tidak menggunakan kudeta berdarah pada awalnya tapi mengagendakaan sekaligus mendorong agar pemilihan umum raya di adakan Maret 1992. Dalam pemilihan ini ada dua kubu besar yang memili pandangan sangat bersebrangan melihat konstitusi yang sangat berpihak pada militer. Kubu yang pertama adalah dari Partai Demokrat dan aliansinya yang diketuai oleh Chuan Leekpai menentang konstitusi tersebut dan di pihak pendukung ada Narong Wongwan dari partai Samakkhitam yang beraliansi dengan militer.
Hasil dari pemilu tersebut adalah kemenangan partai Samakkhitam dalam suara mayoritas tipis unggul dari penantangnya. Namun ketika proses pengangkatan Narong menjadi perdana menteri ada kasus yang menangguhkannya dalam menerima tangkub kepemimpinan yaitu mengenai kasus visa yang ditahan karena keterlibatan kasus transaksi obat bius lintas negara.
Di posisi ini, militer tidak tinggal diam salah satu elitenya yaitu Jendral Suchinda mengajukan diri menjadi Perdana Menteri yang ditentang oleh banyak kalangan karena dinilai inkonstitusional. Dari peristiwa ini gelombang masyarakat dan mahasiswa turun ke jalan untuk memberikan sikap penolakan terhadap rencana pengangkatan Suchinda menjadi Perdana Menteri. Sekitar 200.000 orang dari aliansi masyarakat dan gerakan mahasiswa mengadakan demonstrasi besar-besaran pada tanggan 17 mei. Aksi ini adalah aksi yang besar setelah terakhir demonstrasi besar-besaran tahun 14 oktober 1973. Sekitar 50 orang tewas ran ratusan orang hilang tanpa jejak. Peristiwa inilah yang biasa di sebut Mei Hitam atau Black May.
Dalam peristiwa Black May ini, pihak oposisi yang meraih simpati dari kalangan media masa yang selama ini ditekan oleh intervensi militer dan juga mendulang dukungan dari masyarakat yang terutama anti terhadap pemerintahan militer. Lalu di adakan pemilu pada September 1992 yang bertajuk pertarungan “Partai Malaikat” yang diusung oleh Partai Demokrat, Palang Dharma dan NAP, sedang di “Partai Setan” ada Social Action Party yang dikepalai oleh Montri Pongpanich (menggantikan Narong). Pemilu ini dimenangkan oleh aliansi partai Demokrat, Palang Dharma dan NAP serta mengangkat Chuan Leekpai sebagai Perdana Menteri.
Yang menarik disini adalah kemenangan aliansi masyarakat yang anti terhadap militer sangat kuat bahkan bisa menjungkirkan kekuataan raksasa militer yang mencengkram kekuasaan pada saat itu. Simbol yang paling kentara adalah pengangkatan Chuan sebagai
Perdana Menteri yang bukan berasal dari militer bahkan tidak ada ikatan dengan tidak ada hubungannya dengan militer. Darah yang tumpah dari gerakan masyarakat dan mahasiswa pada saat itu jelas tidak sia-sia namun memang pada 13 Juli 1995 kekuasaan jatuh kembali ke tangan militer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H