Senja hampir tiba dan langit nampak kemerahan seperti memendam rasa malu dalam hatinya.
Ya, seperti aku yang sudah sekian lama hanya mampu mengagumi dalam diam. Yang hanya mampu memandangi dari kejauhan di seberang jalan.Â
Mungkin sedikit berlebihan, namun jejak-jejak yang kau tinggal selepas pulang kemarin merefleksikan sesuatu, seperti bergambar, bercorak dan menyiksaku untuk sekadar berkenalan.Â
Namun itu tak akan terjadi, kita dipisahkan kutip, dibatasi jalan raya sepi dan aku terlalu pengecut untuk sekadar melewatinya.
Entah sudah berapa pagi, siang dan malam kita lewati tanpa saling bertegur. Dan akan terus seperti itu.Menggambarkannya dalam rupa tulisan mungkin butuh setebal buku telefon atau novel-novel terdahulu yang setiap lembarnya mengisyaratkan keindahan dalam ciptaanNya.
Hingga satu ketika sang pangeran berkuda datang, menjanjikan akan menjemput segala impian dan menghapus lara hidupnya. Entahlah, ku kira itu hanya sebuah klise seperti yang diucapkan khas para pejabat-pejabat teras saat kampanye 5 tahunan.Â
Sayangnya dia percaya, dia yakin setiap jengkal hidupnya kini akan nyaman, akan bahagia bersama sang pangeran.Â
Apa bagus sih pangeran itu? apa pangeran tahu bahwa makanan kesukaannya adalah salmon yang dikukus setengah matang? atau apakah sang pangeran tahu setiap pagi apa yang diucapkannya kepada setiap orang di jalan itu? apakah sang pangeran tahu itu?
Namun belakangan saya tersadar, tak semua yang indah-indah tak bisa kumiliki dan hanya bisa kupandangi dari kejauhan, ya, di seberang jalan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H