Entah mengapa, sampai sekarang persaingan antara Hillary Clinton dan Donald Trump masih selalu menggelitik saya. Begitu menggelitik hingga membuat saya semakin gencar mengikuti aksi jatuh-menjatuhkan satu sama lain dan semakin tidak sabar ingin mengetahui bagaimana hasil pemilihan bulan November nanti. Semakin membuat jari-jari saya gatal menulis tentang kedua orang ini.
Semakin diamati, proses kampanye keduanya bagi saya semakin menggelikan. Trump dengan jari-jarinya yang setajam mulutnya tidak takut menghajar Clinton dengan tweet-tweet pedasnya, bahkan mengundang kontroversi besar.Â
Salah satunya adalah ketika ia memposting gambar Hillary Clinton, yang diambil dari akun resmi Hillary sendiri, di atas background ceceran uang dolar dengan caption "Most Corrupt Candidate Ever!" di atas bintang yang disebut-sebut merupakan Star of David. Berbagai media pun mengulas habis post tersebut sampai menuduh Trump bersikap anti-Semitik.Â
Kasus tersebut semakin membuktikan ketidaksiapan Hillary mengambil alih posisi Obama saat ini. Kasus tersebut semakin membuktikan bahwa Hillary terlalu reckless dalam menangani hal-hal penting sekelas urusan negara yang classified, dan kecerobohan serta "hobi"nya untuk berbohong semakin mencoreng nama baik Hillary di mata publik AS.Â
Sekalipun Hillary didukung politikus-politikus Obama (dan mungkin Bernie Sanders), Hillary akan tetap memiliki angka penilaian negatif yang sebegitu tingginya. Hillary akan menjadi sedemikian buruknya, sehingga satu-satunya kandidat yang (mungkin) bisa ia kalahkan dalam pilpres hanyalah Donald Trump.
Kompetisi antara keduanya bila diamati terlihat konyol. Tidak heran, deretan nama-nama yang mendukung Clinton dan (mungkin) Trump, motivasi dukungan mereka semata-mata tidak sepenuhnya merupakan suatu bentuk apresiasi atau mungkin suatu bentuk endorsement.Â
Mungkin satu-satunya yang mendukung kandidat dengan "sepenuh hati" hanyalah Obama terhadap Clinton. Dalam video dukungannya terhadap Hillary dan kampanye bersama Hillary di New Hampshire kemarin, Obama menunjukkan dukungannya dengan alasan yang jelas, yakni kapabilitas Hillary yang telah ditunjukkan saat menjadi Secretary of State. Sisanya? Hanya alasan-alasan busuk.
Deretan nama-nama pendukung Clinton maupun Trump mendukung kandidat mereka hanya oleh karena alasan ingin menjatuhkan kandidat lainnya, bukan semata-mata karena percaya kandidat yang didukungnya akan menjadi presiden yang hebat. Pendukung Clinton rata-rata hanya terdiri dari para feminis, khususnya orang-orang yang menginginkan seorang wanita menjadi presiden.Â
Atau, mereka yang cukup waras untuk mencegah Trump menjadi presiden. Sedangkan pendukung Trump rata-rata juga merupakan orang-orang yang tidak ingin seorang Demokrat kembali naik menjadi presiden. Termasuk juga mereka yang begitu membenci Hillary Clinton melebihi kebencian terhadap Donald Trump.
Ada dua contoh yang bisa kita lihat yang menunjukkan betapa "aneh" para pendukung Clinton maupun Trump. Pertama, banyaknya dukungan kaum LGBT terhadap Hillary. Padahal sudah jelas-jelas Hillary merupakan flip-flopper andal sepanjang karirnya, termasuk pandangannya terhadap LGBT. Hillary yang dulu menolak LGBT tiba-tiba berubah haluan mendukung LGBT.Â