Karena nila setitik rusak susu sebelanga.
Peribahasa ini cocok untuk menggambarkan apa yang dialami Ahok. Hanya karena kepeleset satu kata, dirinya dibenci oleh jutaan umat yang merasa agamanya dinistakan. Hanya karena beda tafsir kata sesederhana kata “dibohongi”, Ahok didemo berjilid-jilid sampai masuk penjara. Hanya karena satu dosa yang (kata banyak orang) tidak disengaja, semua karya Ahok untuk negeri terlupakan.
Setelah Ahok divonis dua tahun penjara, fenomena yang terlihat cukup jelas. Banyak orang pro-Ahok merasa hopeless, kecewa, atau sejenisnya. Bahkan ada yang kesannya berlebihan. Ada yang merasa pesimis terhadap masa depan bangsa ini. Ada yang koar-koar di media sosial ingin pindah kewarganegaraan. Ada yang merasa toleransi yang menjadi identitas Indonesia di mata dunia telah hilang. Bahkan mereka yang juga merupakan bagian dari minoritas merasa tidak punya harapan lagi untuk ikut membangun bangsa.
Twitter siang ini diberondong oleh trending topic yang berbau isu ini. Sebut saja #RIPHukum, Cina, RIP Indonesia, dan masih banyak lagi. Kali ini mereka yang disebut-sebut sebagai silent majority bersuara mengungkapkan kekecewaan mereka.
Kasus Ahok ini seolah-olah menjadi parameter sikap bangsa ini dalam menghadapi isu diversitas komponen penyusun masyarakat di negara ini.
Saya tidak ingin berfokus di isu agama sekarang. We’ll get to that point later.
Mari kita lihat dari sudut pandang politik terlebih dahulu.
Ahok kini secara resmi berstatus tahanan. Sebuah status yang mampu membuat orang-orang melupakan segala karya yang telah dilakukan oleh Ahok. Karangan bunga untuk Ahok-Djarot yang memecahkan rekor MURI, dukungan dari berbagai tokoh masyarakat, sampai penghargaan gubernur terbaik untuk Ahok seolah-olah tidak lagi berarti. Ahok dengan segudang apresiasi yang diraihnya kini jatuh setelah dirinya dinyatakan bersalah dalam kasus penistaan agama.
Hal yang selama ini menjadi pertanyaan adalah: mengapa kasus semacam ini hanya terjadi pada Ahok, dan mengapa kasus ini menjadi fenomena internasional di tengah-tengah masa Pilkada DKI?
Isu SARA menjadi isu sensitif yang rasa-rasanya sudah begitu umum di Indonesia. Dari dulu sampai sekarang Indonesia sudah mempunyai sejarah yang cukup kelam ketika isu SARA hampir berhasil memecah-belah bangsa, ambil saja contoh tahun 1965 dan 1998.
Sekalipun demikian Indonesia terus dikenal dunia sebagai negara dengan toleransi antar umat beragama yang begitu kuat. Bahkan sampai saat ini stigma tersebut masih melekat. Dengar saja apa yang dikatakan Mike Pence ketika berkunjung ke Jakarta beberapa hari yang lalu.